Perdagangan Makassar pada abad ke-19 secara tidak langsung dipengaruhi oleh Inggris yang menganut prinsip perdagangan bebas. Prinsip ini, yang telah diterapkan dalam perdagangan maritim di Asia Tenggara sebelum kedatangan orang Eropa, membuat pelaut dan pedagang di wilayah Sulawesi Selatan (Makassar, Bugis, Mandar, Selayar, dan Buton) bergairah menjalin hubungan dagang dengan Inggris. Sebaliknya, Pemerintah Hindia Belanda memandang Inggris sebagai ancaman, namun tidak berdaya membendung pengaruh negara itu. Inggris memiliki industri yang lebih maju, armada dagang yang baik, dan menguasai sejumlah komoditas penting dalam perdagangan maritim di Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti candu dan tekstil dari India.
Akibat perang dengan Inggris dan pendudukan Prancis, keadaan ekonomi Negeri Belanda amat menyedihkan. Keadaan ini menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda belum berhasil menguasai sepenuhnya Kepulauan Hindia Belanda; sebagian besar masih berstatus "kerajaan sekutu". Pemerintah Hindia Belanda pun dipaksa menerima desakan Inggris, yang tertuang dalam Traktat london, untuk menerapkan perdagangan bebas serta melepaskan koloninya di Semenanjung Malayu (Malaka) dan mengakui kekuasaan Inggris di wilayah Melayu. Sebagai imbangannya, Inggris bersedia melepaskan Hindia Belanda dan mengakui kekuasaan Belanda atas kepulauan tersebut.
Sesuai perjanjian, Pemerintah Hindia Belanda membuka sejumlah pelabuhannya di Hindia Belanda bagi bangsa asing, tetapi tetap diikuti dengan sejumlah aturan yang menyimpang dari semangat perdagangan bebas. Pemerintah tetap memungut pajak perdagangan yang tinggi, melarang perdagangan peralatan perang, memonopoli perdagangan rempah-rempah, candu, dan minuman keras, menetapkan bahwa semua kapal asing harus tunduk pada peraturan di bandar yang berada di bawah pengawasan pemerintah, serta menutup sejumlah pelabuhan bagi pelayaran niaga asing, seperti Ternate, Ambon, dan Banda. "Politik pintu terbuka" ini mengakibatkan Pemerintah Hindia Belanda gagal memikat pedagang asing untuk berniaga di kota- kota pelabuhannya. Pedagang dan pelaut dari wilayah jajahan pun, khususnya dari "kerajaan sekutu", lebih suka berniaga ke pelabuhan- pelabuhan Inggris di wilayah Melayu.
Buku Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim merupakan salah satu koleksi iPusnas yang memuat tujuh faktor yang menyebabkan "politik pintu terbuka" gagal. Pertama, pajak perdagangan sangat tinggi. Kedua, perdagangan senjata dilarang, padahal banyak kerajaan lokal yang membutuhkan senjata untuk mempertahankan diri; pedagang dan pelaut juga membutuhkan untuk melindungi diri dari bajak laut. Ketiga, adanya monopoli atas sejumlah komoditas yang banyak diminta oleh penduduk, seperti candu dan minuman keras. Keempat, diterapkannya alat pembayaran berupa matauang tembaga dan kertas. Kelima, pemerintah terlalu memusatkan diri pada komo- ditas yang laku di Eropa dan tidak memperhatikan matadagangan penduduk yang laris di Cina, seperti teripang, agar-agar, kerang, sisik penyu, sarang burung, sirip ikan hiu, dan kayu cendana. Keenam, kemerosotan perdagangan, pada gilirannya, memudarkan semangat untuk mengembangkan modal di Makassar. Ketujuh, monopoli yang berlebihan atas komoditas produksi penduduk.
Kondisi perdagangan semakin runyam ketika penyeludupan dan ancaman bajak laut merajalela. Penyeludupan meningkat karena jalinan niaga antara Makassar dan Singapura semakin kuat. Berdasarkan fakta ini pada 1847 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Makassar sebagai kota pelabuhan bebas bersyarat untuk menandingi Singapura. Dikatakan bersyarat karena pemerintah masih memungut pajak perdagangan yang tinggi, melarang perdagangan komoditas tertentu, menetapkan aturan pelayaran yang ketat, serta tidak menegakkan persaingan bebas dalam perdagangan. Semua ini berbeda dengan yang dijalankan Inggris di Singapura.
Pada era "pelabuhan bebas" itu pemerintah baru serius terlibat perdagangan tahun 1850, setelah setahun sebelumnya, 1849, diadakan studi oleh Van Diemen. Sebagai langkah awal, pemerintah memberi izin kepada kapal Belanda untuk mengimpor langsung komoditas dari Belanda ke Makassar pada 1850 dan bekerjasama dengan maskapai pelayaran Cores de Vries untuk melayani angkutan di jalur yang disubsidi. Pada era "pelabuhan bebas" ini pula, sebaliknya, pengusaha Inggris dan Cina di Singapura semakin bergiat dalam perdagangan Makassar. Bahkan pedagang Inggris membantu meningkatkan pelayaran niaga Makassar-Cina. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan Singapura tidak dapat dilepaskan dari peran pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan, terutama dalam perdagangan produk Cina-produk laut.
Secara umum bisa dikatakan bahwa perdagangan Makassar pada era "pelabuhan bebas" maju pesat dibandingkan era sebelumnya; puncaknya berlangsung pada 1873. Dalam konteks ini perdagangan Makassar dapat dibagi dalam tiga periode: periode pertumbuhan yang pesat (1847-1873), periode keguncangan (1874-1891), dan periode kepincangan (1892-1906).
Perdagangan pada periode pertumbuhan yang pesat terutama dikuasai oleh pedagang dan pelaut Inggris dan Cina di Singapura, Bumiputra, dan para pedagang di Makassar (Inggris, Belanda, Cina, dan Timur Asing lainnya). Pedagang Inggris dan Cina yang berpusat di Singapura menjelajahi seluruh pelosok daerah produksi, wilayah yang sebelumnya berada dalam genggaman pedagang dan pelaut Sulawesi Selatan. Daerah yang dikunjungi pedagang Bumiputra juga dijelajahi oleh kapal berbendera Inggris. Dalam hal ini pemerintah pusat di Batavia, NHM, serta pedagang dan pengusaha di Jawa belum menaruh perhatian.
Kendati dari segi teknologi perkapalan pedagang dan pelaut Bumiputra kalah bersaing, tetapi mereka tetap memegang peran penting. Ten Noord, orang yang melakukan kajian terhadap Kepulauan Hindia Belanda bagian timur, melaporkan bahwa pedagang Cina, Arab, Bugis, dan Makassar bergiat mengelola komoditas di daerah produksi sebagai perwakilan perusahaan Inggris dan Cina di Singapura. Komoditas ini dikirim langsung ke Singapura maupun melalui Makassar. Mereka juga menjadi perintis terbukanya pulau-pulau kecil bagi dunia luar, terutama yang belum terjangkau oleh kapalapi. Salah satu dampak dari kerjasama ini adalah alih teknologi pembuatan kapal. Perahu pinisi, yang hingga kini dianggap sebagai lambang kejayaan Sulawesi Selatan di laut, dicontoh dari bangsa Eropa.
Perdagangan merosot ketika pemerintah berencana membatalkan kebijakan pelabuhan bebas pada 1873 dengan alasan perdagangan bebas di Makassar lebih menguntungkan Singapura. Rencana ini berhasil ditentang oleh pemerintah setempat serta kalangan pengusaha sehingga Batavia menunda rencana tersebut. Untuk membendung pedagang Inggris dan Cina di Singapura Batavia kemudian meningkatkan modal NHM dan menambah jalur pelayaran yang disubsidi. Tujuannya jelas, yakni untuk mempersempit ruang gerak perusahaan pelayaran asing.
Usaha itu ternyata sia-sia. Pedagang Bumiputra dan Cina serta Inggris di Singapura mengalihkan pelayaran mereka di luar jalur yang dikuasai oleh pemerintah. Akibatnya jalur perdagangan antara daerah produksi di Kepulauan Hindia Belanda bagian timur dan Singapura semakin meningkat, sementara pelabuhan Makassar semakin sepi.
Keadaan itulah yang menjadi faktor utama pembentukan KPM. Setelah KPM terbentuk, hubungan langsung antara Singapura dan Kepulauan Hindia Belanda bagian timur pubn turun drastis. Pemerintah Hindia Belanda berhasi menyisihkan pesaingan, perusahaan pelayaran Inggris dan Cina yang berpangkalan di Singapura, karena jalur pelayaran tetap yang disubsidi semakin diperluas. Bahkan, dalam perkembangannya, KPM juga diberi hak untuk beroperasi di luar jalur tetap. Pada periode KPM inilah kegiatan impor-ekspor Makassar dan Nusa Tenggara dipindahkan ke Surabaya. Kebijakan ini merupakan cerminan dari kalahnya kelompok asing dan Bumiputra yang pernah berjaya di Makassar pada periode 1847-1873. Jalan bagi pemerintah untuk membatalkan status pelabuhan bebas bagi Makassar pun semakin lapang.
Pemerintah Hindia Belanda sadar bahwa pedagang dan pelaut Bumiputra berpotensi menggagalkan status pelabuhan wajib pajak Makassar. Oleh karena itu pemerintah mencoba mengatasi ancaman tersebut dengan melakukan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan sekutu, tetapi gagal. Pemerintah akhirnya mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan berdaulat agar rencana penetapan Makassar sebagai pelabuhan wajib pajak pada 1906 berjalan lancar.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: pertama, Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah membiarkan pedagang dan pengusaha asing serta berbagai pihak yang bekerjasama dengan pesaing meraih keuntungan di wilayah kekuasaannya. Kedua, pelaksanaan "politik pintu terbuka" dan kemudian "pelabuhan bebas" masih jauh dari prinsip ekonomi liberal. Ketiga, kebijakan "pelabuhan bebas" tidak digerakkan oleh tujuan untuk menjadikan Makassar sebagai pesaing Singapura, melainkan sebagai upaya untuk menyelamatkan kepentingan politik Belanda di Hindia Belanda. Keempat, kebijakan pelabuhan bebas yang berhasil memancing pedagang asing untuk datang ke Hindia Belanda dipandang sebagai kerugian bagi Belanda.
Bila dilihat secara lebih spesifik, kebijakan "perdagangan bebas" Makassar dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena: Pertama, peran penting pedagang dan pelaut di Sulawesi Selatan dalam perdagangan di wilayah koloni. Kedua, dominasi Inggris atas sejumlah komoditas penting yang diperlukan oleh penduduk di wilayah Kepulauan Hindia Belanda. Ketiga, sukses Inggris dalam menjalin hubungan niaga dengan pedagang dan pelaut dari Sulawesi Selatan. Dalam konteks ini Pemerintah Hindia Belanda menempuh beragam cara untuk memperkuat ekonomi dan politiknya, seperti: pertama, memperbanyak pemilikan kapal-terutama kapalapi-melalui kontrak kerjasama dengan perusahaan pelayaran. Kedua, memberi hak istimewa kepada perusahaan tertentu. Ketiga, melancarkan ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan sekutu di Sulawesi Selatan. Jelaslah bahwa Pemerintah Hindia Belanda menata perdagangan Makassar lebih berdasarkan pada prinsip-prinsip merkantilisme ke- timbang ekonomi liberal.
Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim
Penulis: Edward L.Poelinggomang
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2006
Tempat terbit: Jakarta
E-ISBN: 978-602-424-165-0