April 29, 2021

SASTRA KLASIK BUGIS MAKASSAR

Sastra klasik Bugis-Makassar adalah suatu karya sastra yang ditandai oleh lokalitas pengarangnya. Karya sastra klasik yang di maksud adalah mitos, lagenda, dongeng, mantera, perjanjian adat, undang-undang, surat perjanjian dan naskah-naskah tentang budaya dan agama yang ada dalam komunitas Bugis.

Sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan, karya satra Bugis masih diwarnai oleh pemahaman tentang ilmu-ilmu mistik. Kepercayaan terhadap toriolo (nenek moyang) yang tercermin pada adat kebiasaan sehari-hari seperti kelahiran anak, kematian, pernikahan, pengobatan penyakit, mamasuki hutan, masa panen sawah, turun ke laut, turun ke sungai, masuk rumah baru, pergi merantau dan menuju medan perang. Tari-tarian yang diiringi musik dan mantra yang dilagukan dengan irama yang mengikuti pola kepercayaan lama menunjukkan tentang pemahaman ilmu mistik. Mantra tersebut merupakan hasil perenungan dan imajinasi yang tersusun dari kata dan kalimat yang berbentuk puisi dan dipercaya memiliki kekuatan mistik. Mantra pada era modern digolongkan sebagai bentuk sastra klasik.

Buku SASTRA KLASIK BUGIS MAKASSAR membahas tentang periode sastra Bugis Makassar klasik, Tokoh-tokoh sastra klasik Bugis Makassar, Jenis-jenis Sastra Bugis Klasik, karya sastra Bugis-Makassar klasik dan bicara attoriolong dan pau kotika.

Periode Sastra KLasik Bugis-Makassar

  1. Zaman Lagaligo
  2. Zaman To Manurung
  3. Zaman Kerajaan
  4. Zaman penjajahan
  5. Zaman Pra Kemerdekaan
Tokoh-tokoh Satra Klasik Bugis-Makassar

  1. La Galigo
  2. Raja Ali Haji
  3. Daeng Pamatte
  4. Kajao La Liddong
  5. Puang Ri Maggalatung
  6. Syekh Yusuf Al-Makassary AL-Banteny
  7. La Temmassongek To Appawelling
  8. Al-Barazanji
Jenis-jenis Sastra Bugis Klasik
  1. Sastra Legenda
  2. Sastra Sejarah
  3. Sastra Bugis-Melayu
  4. Sastra Hukum
  5. Sastra Biografi
  6. Pappaseng To Matoa
Karya Sastra Bugis-Makassar klasik
  1. Pau-pau ri Kadong
  2. Sastra Lagenda
  3. Sastra Sejarah
  4. Sastra Islam
Bicara attoriolong dan pau kotika
  1. Bicara attoriolong
  2. Pau kotika
  3. Surek nasihat Nabi Muhammad SAW
  4. Puisi klasik Bugis (meminang)
Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar sebagai informasi ilmu pengetahuan karya sastra juga dapat berfungsi pembelajaran dari generasi ke generasi.


SASTRA KLASIK BUGIS MAKASSAR 
Penulis: Kasma F. Amin
Editor:  Muliadi
Penerbit: Garis Khatulistiwa
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2015
ISBN: 978 502 73980 1 6


April 28, 2021

MAESTRO 27 KARAENG BUGIS-MAKASSAR

Keberadaan para karaeng tidak lepas dari pertahanan terhadap eksistensi Sulawesi. Nama Celebes (Sulawesi) berasal dari bahasa Portugis. Dalam tahun 1941, Nicholas Dechiens dalam sebuah map (peta) yang digambarkannya memberikan nama dengan "Pontas dos Celebes" (Antonio Pinto da France, "Portuguese Influence Indonesia"). Celebes terdiri dari 5 provinsi. Salah satunya adalah provinsi Sulawesi Selatan.

Makna karaeng hanyalah simbol kebangsawanan di tanah Makassar-Gowa, sebagai penghargaan terhadap seorang manusia yang telah berjasa memimpin dan berjuang mempertahankan tanah airnya. Buku MAESTRO 27 KARAENG BUGIS-MAKASSAR mengungkap  kisah kepahlawanan dan strategi politik, terutama setelah berakhirnya masa Kerajaan Gowa, sejak 1946-1960 yang dipangku oleh Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng La Lolang Sultan Muhammad Abd. Kadir Aiduddin Tumenanga ri Jongaya, serta rangkaian diskursus peristiwa dan kejadian seputar perjuangan para karaeng melawan VOC-Belanda, 27 karaeng tersebut adalah:

  1. Karaeng Bangkala
  2. Karaeng Bayo
  3. Karaeng Bontomajannang
  4. Karaeng Bontomangape
  5. Karaeng Bontomarannu
  6. Karaeng Bura'ne
  7. Karaeng Galesong
  8. Karaeng Karunrung
  9. Karaeng Lakiung
  10. Karaeng Langello
  11. Karaeng Katangka
  12. Karaeng Lambang Parang
  13. Karaeng Kajenne
  14. Karaeng Layu
  15. Karaeng Moroangin
  16. Karaeng Motowaya
  17. Karaeng Naba
  18. Karaeng Pattingalloang
  19. Karaeng Popo
  20. Karaeng ri Lengkese
  21. Karaeng ri Majennang
  22. Karaeng Siang
  23. Karaeng Suppa
  24. Karaeng Tumapa risi Kallonna
  25. Karaeng Tunatangka Lopi
  26. Karaeng Tunijallo
  27. Karaeng Tunipasulu
Buku ini merupakan koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar untuk menambah khazanah sejarah Makassar-Bugis di tingkat lokal.


MAESTRO 27 KARAENG BUGIS-MAKASSAR
Penulis: Syahruddin Yasen
Penerbit: Pustaka Refleksi
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2008
ISBN: 9789-3570-86-5

April 27, 2021

PERISTIWA TAHUN TAHUN BERSEJARAH DAERAH SULAWESI SELATAN DARI ABAD KE XIV s/d XIX

Kerajaan-kerajaan di Sulwesi Selatan terbagi atas kerajaan sebelum masa lontara dan kerajaan-kerajaan sesudah masa lontara. Kerajaan sebelum masa lontara di sebut Kerajaan Bugis Makassar Purba, masing-masing Kerajaan Ussu’ (kemudian dikenal dengan nama kerajaan Luwu) dan Kerajaan Siang (sekarang Pangkajene Kepulauan). Abad berdirinya kerajaan ini tidak dapat diketahui secara pasti. Namun beberapa ahli sejarawan di daerah ini sepakat mengatakan, bahwa Kerajaan Ussu’ atau Luwulah merupakan sebuah kerajaan tua yang yang kekuasaannya sangat besar di Sulawesi Selatan sebelum abad ke-XIV, dan juga merupakan cikal-bakal bagi adanya kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan yang baru berdiri sekitar abad ke-XIV.

Kerajaan Ussu' berpusat disekitar Kota Palopo, meliputi sebahagian tanah Bugis (termasuk Toraja), Luwu-Banggai, Gorontalo, serta sebagian wilayah daerah Sulawesi Tenggara yang kemudian daerah-daerah itu bernama: Tompotikka. Sedangkan Kerajaan Siang berpusat di sekitar Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dengan peta wilayah dari Maros sampai ke Tanete (Barru) termasuk seluruh kepulauan Spormondes.

Ketika Batara Guru, La Toge'tana naik takhta disekitar tahun 800 Masehi, Kerajaan Ussu' dirubah namanya menjadi Kerajaan Luwu. Beliau memperanakkan Batara Lattu yang kemudian melahirkan Sawerigading, tetapi ia tidak pernah menjadi raja dikerajaannya, walaupun Saweringading itu sebenarnya adalah seorang putera mahkota yang amat besar dan lagi terkenal. Hal ini karena beliau mempunyai kegemaran merantau atau berlayar dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain di dalam wilayah kepulauan Nusantara., bahkan sampai ke Semenanjung Melayu dan Tiongkok. Dari beliau ini (Saweringading) lahirlah I La Galigo yang kemudian namanya ditabalkan sebagai judul dari buku karya sastra yang terbesar di dunia pada jamannya, "Sure I La Galigo".

Masa I La Galigo kemudian digantikan oleh La Tenri Tatta dan masa terakhir dari zaman kekuasaan raja-raja lagendaris atau periode dewa-dewa. Setelah masa La Tenri berakhir maka Kerajaan Luwu memasuki zaman kegelapan, yaitu di mana tidak adanya pusat kekuasaan yang dapat mempersatukan rakyat Luwu. Masa ini dikenal dengan istilah "Sianre Baleni Tauwe" (maksudnya= siapa yang kuat itulah yang dapat bertahan hidup atau berkuasa). Masa kegelapan di Kerajaan Luwu ini berlangsung selama tujuhbelas generasi dan baru berakhir disekitar abad ke-XIV yakni ketika munculnya seorang tokoh atau penguasa baru yang dikenal "To Manurrung" (orang yang turun dari langit) "Simpuru Siang". Tokoh inilah yang diduga sebagai penyelamat dan pelanjut atau peletak dasar dari pemerintahan Luwu setalah melewati masa kegelapan/kekacauan selama 17 tahun lamanya. Periode To Manurrung Simpuru Siang disebut masa/periode lontara dalam sejarah Kerajaan Luwu.

Dari buku I La Galigo maupun dalam lontara Gowa menyebutkan, bahwa nenek moyang Sawerigading dari Kerajaan Luwu itu bersaudara dengan Sriwijaya. Sedangkan menurut sumber-sumber Portugis, bahwa sekitar tahun 1100 Masehi salah seorang Ratu dalam Kerajaan Siang yang bernama Gadimaro diperistrikan oleh Raja Ussu' Kerajaan Gowa disekitar abad ke-XIV, yakni pada zaman pemerintahan Raja Gowa ke-IX, Daeng Matanre Karaeng Mangutungi dengan gelar anumerta Tumapa'risi Kallonna. Akhirnya penaklukan itu Kerajaan Siang ke,mudian melebur diri secara integratif ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa, seperti malalui kawin-kawin antara kedua keluarga dan bangsawan itu.

Buku PERISTIWA TAHUN TAHUN BERSEJARAH DAERAH SULAWESI SELATAN DARI ABAD KE XIV s/d XIX menyajikan berbagai peristiwa serta tahun-tahun bersejarah yang membuktikan Sulawesi Selatan sejak dari dahulu telah memahami hak dan tanggung jawabnya sebagai suatu bangsa, karena menentang setiap unsur yang berusaha merebut hak dan kedaulatannya. Buku ini salah satu kolekasi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


PERISTIWA TAHUN TAHUN BERSEJARAH DAERAH SULAWESI SELATAN DARI ABAD KE XIV s/d XIX
Penerbit: Rachmah, L. T. Tangdilintin, Aminah Pabittei, Ridwan Borahima
Penerbit: Kantor Wilayah Depdikbud Prov. Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1985

 

April 26, 2021

LONTARAK MAKASSAR ANPANNASSAI KARAENG UJUNG MONCONG'

Naskah lontarak Makassar berupa catatan hasil tulisan tangan dalam aksara gabungan Makassar dan Arab ditemukan di daerah Bangkala Kabupaten Jeneponto yakni naskah lontarak Anpannassai Karaeng Ujung Moncong'. Naskah ini tertulis pada bulan Muharram tahun 1245 H (1824M), sedangkan kandungan isinya memuat catatan mengenai mitos tu-manurung di Ujung Moncong, peristiwa dan tokoh sejarah di daerah Bangkala, berbagai gagasan vital, hukum, ajaran tentang etik dan moral, tatakrama dan berbagai nilai-nilai sosial budaya yang sampai saat ini tetap hidup dan mendapat dukungan dari warga masyarakat setempat.

Salah satu peristiwa sejarah yang tercatat dalam naskah lontarak Anpannassai Karaeng Ujung Moncong' ialah peperangan antara Kerajaan Kalimporo dan Ujung Moncong. Peperangan tersebut timbul karena adanya suatu perbedaan kepentingan antara Raja Kalimporo dan Karaeng Pauranga yaitu, menyangkut urusan Banrimanurung, istri Karaeng Pauranga.

Banrimanurung adalah seorang tokoh mitologis yang biasa dikenal sebagai tu-manurung, maksudnya orang yang turung dari kahyangan. Keluarbiasaan Banrimanurung sebagai tokoh tu-manurung, antara lain tidak diketahui asal usulnya, mempunyai kemampuan untuk menghilangkan diri dari pandangan manusia, mampu menyembunyikan diri di dalam sebatang bambu, mempunyai kekuatan dahsyat untuk melumpuhkan lawan di dalam pertempuran, mempunyai ilmu untuk mendatangkan laskar yang terdiri dari mahluk halus dari dunia gaib, mempunyai wajah yang sangat cantik dengan rambut halus bergelombang, sehingga mampu memikat hati laki-laki pada umumnya.

Buku LONTARAK MAKASSAR ANPANNASSAI KARAENG UJUNG MONCONG' membahas tentang Ujung Moncong dan peranan Tu-Manurung pada masa Kerajaan Bangkala. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


LONTARAK MAKASSAR ANPANNASSAI KARAENG UJUNG MONCONG'
Penulis: Pananrang Hamid, Tatiek Kartikasari
Penyunting: Zulyani Hidayah
Penerbit: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
Tahun Terbit: 1992/1993


April 23, 2021

CERITERA I MUTTIA DI PA'SOKKORAN LITAQ MANDAR


Menurut ceritera orang bahwa dahulu kala, ada sebuah kerajaan yang sangat besar kekuasaannya di daerah Mandar bernama "Kerajaan Pasokkoran". Dilereng gunung Pasokkoran itu, di sana terpencil sebuah gubuk yang sudah lapuk.

Pondok itu dihuni oleh sepasang insan manusia yang sudah hampir keriput seluruh kulitnya. Orang tua itu mempunyai anak tujuh orang. Semuanya anak laki-laki dan masih kecil-kecil. Anak yang sulung beru berumur sebelas tahun, karena kecuali yang bungsu, keenam orang kakaknya selalu kembar dua. Yang bungsu sendiri baru menginjak usia enam tahun. Anak yang bungsu inilah yang bernama "I MUTTIA".

Sedikit potongan Buku CERITERA I MUTTIA DI PA'SOKKORAN LITAQ MANDAR yang diangkat dari cerita lama tentang kepahlawanan Kerajaan Pasokkoran Mandar. Dahulu kerajaan ini amat jaya sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Pitu Babanna Binanga dan Kerajaan Pitu Ulunna Salu. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


CERITERA I MUTTIA DI PA'SOKKORAN LITAQ MANDAR 
Penyusun: Madjid Tanawali Azis Syah
Penerbit: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya Ujung Pandang
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1980



April 20, 2021

SEJARAH PATTALLASSANG

Pattallassang dan Paccelekang merupakan dua wilayah kerajaan kecil yang menjadi anggota Bate Salapang. Para tubarani kedua bate ini juga ikut memperkuat wilayah pertahanan Kerajaan Gowa. Tubarani dari Pattalassang diberi nama "Campagana Paccelekang" sedang dari Paccellekang disebut "Lampungna Paccelekang"

Para tubarani dari kedua negeri itu, dijadikan sebagai pasukan Paklapak Barambang (Panglima Perang) dalam setiap memperluas wilayah kekuasaan. Beberapa pimpinan tubarani seperti Balasa Patia, Karaeng Campagaya, Karaengta Ma'langnge, Koke Dg. Nyampa, Laugi Dg. Mappela dan Reo Dg. Siala. Para tubarani dari kedua negeri itu, dijadikan sebagai pasukan Paklapak Barambang  (Panglima Perang) dalam memperluas wilayah kekuasaan.

Buku SEJARAH PATTALLASSANG membahas tentang Sejarah Pattallassang dan Sejarah Paccellekang; beberapa tokoh profil serta lagenda pariwisata diantaranya:

  1. Bollangi Riwayatmu Dulu
  2. Ganrang Jawa
  3. Sitti Bayang ri je'ne
  4. Pa'bundukang
  5. Palantikang
  6. Batu Ma'limpung
  7. Berburu Rusa di Batu Karang
  8. Bu'rung-Bu'rung
  9. Industri Gula Merah
  10. Bakara Bollangi

Buku ini merupakan koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin km. 7 Tala'sapang-Makassar.


SEJARAH PATTALLASSANG
Penyusun: Zainuddin Tika, Abd. Azis, Suriati, Hj. Nurjannah
Penerbit: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Sungguminasa
Tahun Terbit: 2010

April 19, 2021

SEJARAH KERAJAAN BAJENG

Pada abad 15 silam, muncul seorang pemimpin yang pemberani dan sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Ia sangat arif dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Dia adalah Baso Daeng Pabeta, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Karaeng Loe.

Kerajaan Bajeng dibawah pimpinan Karaeng Loe mulai terbentuk, dan bahkan berubah menjadi sebuah kerajaan yang sangat kuat, karena memiliki banyak Tubarani serta senjata sakti yang dianggap ampuh melawan musuh, seperti Sudanga, I Bu'le (anak panah) dan masih banyak senjata lainnya yang ditakuti lawan.

Ketika Bajeng dibawah kepemimpinan Karaeng Loe, para tubarani terus melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dari upaya ekspansi itulah, wilayah Kerajaan Bajeng bertambah luas, yakni tidak hanya mencakup Batang Banoa Appaka, tetapi juga beberapa daerah sekitarnya. Dari catatan sejarah dapat diketahui batas wilayah Kerajaan Bajeng pada masa Karaeng Loe yakni: sebelah utara berbatasan dengan Binaga Taeng dan Sungai Jeneberang. Sebelah timur sampai ke Gunung Bawakaraeng. Sebelah selatan sampai ke daerah Bangkala Jeneponto. Sebelah barat sampai ke selat Makassar.

Suatu ketika, Gowa melakukan ekspansi dengan memperluas wilayah kekuasaan dengan jalan menaklukkan daerah sekitarnya termasuk Bajeng. Pasukan Gowa sudah berkali-kali menyerang Bajeng, namun tak berhasil. Suatu saat, Sombaya mendapat bisikan dari salah seorang kepercayaannya, bahwa Bajengtak bisa ditaklukkan dengan cara perang, tetapi harus dengan siasat atau strategi untuk mencuri senjata ampuh yang dimiliki oleh Karaeng Loe ri Bajeng.

Untuk mendapatkan senjata sakti itu, kata penasehat cukup mudah, karena Karaeng Loe bersahabat baik dengan Karaeng Galesong, sehingga dengan pendekatan kedua raja itu, senjata sakti bisa didapat dan dengan musah Bajeng ditaklukkan.

Ketika Bajeng masuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Gowa, dan beberapa pasukan Tubarani ikut memperkuat barisan pertahanan wilayah Kerajaan Gowa. Karena merasa bersatu dalam wilayah kerajaan, maka benda kebesaran Bajeng seperti Sudanga, I Bu'le dan senjata lainnya diambil oleh Raja Gowa.

Buku SEJARAH KERAJAAN BAJENG  membahas tentang Bajeng yang dulunya sebuah daerah kerajaan yang sangat disegani oleh lawan, karena keberanian dari prajuritnya berlaga di medan perang. Kelompok pasukan elitnya dinamakan Pasukan Patampuloa. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar berisikan profil tokoh serta lagenda wisata Bajeng.


SEJARAH KERAJAAN BAJENG
Penyusun: Zainuddin Tika, Mas'ud Kasim, H. Ilyas, M. Ridwan Syam, Hj. Suriati
Editor: Masykur Mansyur, Muh. Yamin, Abd. Manmnan Baso
Penerbit: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Sungguminasa
Tahun Terbit: 2009

April 16, 2021

SEJARAH BONTOLEMPANGAN

Di Bontolempangan pada masa kerajaan, terdapat sebuah kerajaan kecil yang usianya sudah sangat tua, namanya Kerajaan Leo Toa yang usianya sudah sangat tua, namanya Kerajaan Leo Toa yang penguasanya disebut Dampang.

Ketika Lemo Toa dipimpin oleh Karaengta Katinting, beliaulah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan daerah sekitarnya, seperti Gantarang dan Bontoloe.

Ketika Gowa melakukan ekspansi dengan menaklukkan daerah sekitarnya, beberapa daerah kerajaan kecil di Bontolempangan kemudian masuk bergabung dengan wilayah Kerajaan Gowa.

Ketika bergabung dengan Kerajaan Gowa, beberapa tubarani ikut memperkuat pertahanan Kerajaan Gowa, seperti Labu Tubaranine Jene Kampala, Dampang Coro, Cambang Panraka dan masih banyak tokoh pemberani lainnya, hingga Gowa berhasil menguasai beberapa daerah di wilayah timur Nusantara ini pada abad ke 16 dan 17.

Pada masa revolusi kemerdekaan, beberapa pejuang dari daerah itu ikut memperkuat barisan pejuang merah putih yang bernaung di berbagai organisasi kelaskaran, seperti Lapang Bajeng, PPNI, Laptur dan masih banyak lainnya, hingga akhirnya Bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Setelah Gowa menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi, Bontolempangan masuk dalam satu distrik Tompobulu, Distrik kemudian berubah menjadi kecamatan hingga terjadi beberapa kecamatan, dengan terbentuknya Kecamatan Bungaya pada tahun 2003 lalu, dibentuk Kecamatan Bontolempangan.

Buku Sejarah Bontolempangan mengungkap sejarah Bontolempangan sejak dari zaman Kerajaan Lemo Toa hingga menjadi kecamatan. Buku ini salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang juga dilengkapi profil tokoh seperti Lambu Tubaranina Je'ne Kampala, Tongkat Lambu Tembus Batu Lapisi, Toa' Janggo', Karaeng Lekoboddong, Dampang Coro dan Joa Tujuhpuloa dan Kisah Orang Boto dari Botolempangang, serta beberapa obyek wisata atau situs sejarah yang punya cerita legenda tersendiri di masyarakat. Juga legenda obyek wisata seperti:

  • Legenda Putri Liku Nuang
  • Lampunna Pokeng
  • Liku Tamamminraya
  • Bontolempangang Desa Kalong
  • Liku Jangang-jangang
  • Tragedi Ulu Jangang
  • Pa'ladingang Negeri Pandai Besi
  • Panre Bassi dari Julumate'ne
  • Air Terjun Katimbang
  • Bungung Lantang ri Lassa-lassa
  • Permandian Je'ne Bidadari
  • Batu Kallong
  • Ulu Ere
  • Balla Adaka ri Gantarang
  • Sonri dan Poke Pangkana Lassa-lassa
  • Pangngdakkanga ri Pa'ladingang
  • Tana Pangkaya
  • Negeri Mata Allo
  • Wisata Batang Pinus Langkoa
  • Wisata Kuliner
  • Panrita Balla
  • Hasan Suaib Penyelamat Lingkungan Hidup.


SEJARAH BONTOLEMPANGAN
Penulis: Zainuddin Tika, Jumasang, Nurdin Palalang, Zakariah Djuruddin, Muh. Jamil
Penerbit: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan
ISBN: 978 602 99757 8 6

April 14, 2021

KARAENG SANGUNGLO PAHLAWAN RAKYAT CEYLON

Armas Madina Sultan Fakhruddin Raja Gowa ke 26 atau lebih tersohor dengan julukan Batara Gowa, ketika memegang tampuk pemerintahan telah banyak melakukan perlawanan terhadap Belanda. Akibatnya Batara Gowa ditangkap dan diasingkan ke Ceylon (Srilanka).

Ditempat pembuangan, Batara Gowa merasa kesepian. Ia bertemu dengan salah seorang gadis melayu Ceylon, namanya Siti Hapipa. Dari perkawinannya, membuahkan beberapa orang anak, yakni Karaeng Yusuf Gowa, Kapten Karaeng Andullah, Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Zainal Abidin Karaeng Segeri, Yunusu Karaeng Sapanang dan Karaeng Saifuddin.

Selain Siti Hapipa rupanya Batara Gowa juga punya seorang istri lagi yang sudah diceraikannya. Wanita yang tidak diketahui namanya itu memberinya seorang anak lelaki. Dialah yang bernama Karaeng Sangunglo. Ketika Karaeng Sangunglo menginjak dewasa, ia direkrut oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk masuk dalam Resimen Melayu Ceylon. Namun ketika tentara Inggeris berhasil menguasai negara tersebut, otomatis resimen bentukan Belanda dilikwidasi oleh tentara Inggeris, ia memilih beralih ke Kerajaan Kandy, sebagai salah satu kerajaan terbesar di negara Ceylon saat itu. Karaeng Sangunglo diangkat oleh Raja Kandy Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) sebagai panglima perang.

Ketika Inggeris menyerang Kandy, Karaeng Sangunglo berada pada barisan terdepan dengan gagah berani melakukan perlawanan. Atas keberaniannya, Inggeris menderita kekalahan. Sayangnya, disaat pasukang Karaeng Sangunglo meraih kemenangan, tiba-tiba salah seorang pimpinan pasukan Inggeris bernama Mayor Davy melepaskan tembakan bertubitubi pada Karaeng Sangunglo kemudian dijadikan sebagai pahlawan bagi rakyat Kandy dan negeri Ceylon pada umumnya.

Buku KARAENG SANGUNGLO PAHLAWAN RAKYAT CEYLON membahas tentang perjuangan putra seorang Tubarani dari Butta Gowa yang berhasil menjadi Panglima Kerajaan Kandy di Negeri Ceylon (Sri Lanka) pada abad 17 silam. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


KARAENG SANGUNGLO PAHLAWAN RAKYAT CEYLON
Penulis: Zainuddin Tika, Mas'ud Kasim, Rosdiana Z
Penerbit: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2011



MAKASSAR TEMPO DOLOE

Nama Makassar sebagai sebuah daerah kerajaan ternyata sudah berdiri sejak zaman Majapahit, terbukti dalam buku negarakartagama karangan Empu Prapanca disebutkan nama Makassar sebagai salah satu daerah taklukan Majapahit. Demikian hanya dalam naskah kuno Lagaligo juga telah disebutkan nama Makassar sebagai satu wilayah.

Pada masa Pemerintahan Raja Gowa VI Karaeng Tunatangkalopi sudah ada rencana untuk mendirikan kerajaan sampai Gowa Tallo. Kerajaan kembar itu kemudian terwujud ketika putranya Batara Gowa menjadi Raja Gowa VII sedangkan adiknya Karaeng Loe ri Sero menjadi Raja Tallo pertama sekaligus menjadi Mangkabumi Kerajaan Gowa. Penyatuan Kerajaan Kembar Gowa-Tallo itulah lazim disebut Kerajaan Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna yang memindahkan ibukota kerajaan dari Bukit Tamalate ke Pesisir Sombaopu, maka mulai saat itu Makassar dikenal sebagai Kerajaan Maritim. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin, Makassar menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah Timur Nusantara ini.

Pucak kejayaan Makassar terjadi pada abad ke 16-17 terutama ketika Kerajaan Makassar dibawah pimpinan Sultan Malikussaid dengan Mangkubuminya I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Karaeng Pattingalloang yang piawai dengan beberapa bahasa asing telah banyak mengundang pedagang dari berbagai negara untuk datang ke Dermaga Sombaopu. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, maka Bandar Niaga Sombaopu berubah derastis menjadi Bandar Niaga Internasional. Disekeliling Kota Sombaopu telah banyak berdiri kantor perwakilan dagang (loji) yang menyebabkan Makassar saat itu menjadi kota.

Buku MAKASSAR TEMPO DOLOE menggali sejarah dan budaya Kerajaan Makassar di masa silam, yang menguasai separuh wilayah di belahan timur Nusantara, mulai dari Sulawesi, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara, Australia Utara (Marege), Kepulauan Maluku Tenggara (Pulau-pulau Tinimbar). Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


TEMPO DOLOE
Penulis: Zainuddin Tika, H. Abd. Rahim, H. Sarea, Mas'ud Kasim
Penerbit: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2011
ISBN: 978-602-99757-0-3

April 13, 2021

LAMMING (PELAMINAN)

Pelaminan dalam bahasa Bugis disebut Lamming dan dalam bahasa Makassar disebut Paklammingang atau biasa disebut Lamming sama dengan penamaan dalam bahasa Bugis.

Pada umumnya pelaminan hanya digunakan oleh raja-raja dan keturunannya sebagai singgasana, tempat tidur, tempat upacara-upacara tertentu, upacara life cycle (lingkaran hidup). Akan tetapi dewasa ini, bukan saja digunakan oleh kalangan bangsawan saja, tetapi juga golongan orang-orang yang bukan bangsawan tetapi mereka mampu memilikinya. Jadi disinilah terlihat adanya perubahan sosial pada masyarakat Bugis-Makassar.

Pembuat lamming lambat-laun mengalami perubahan, baik dari segi bentuknya maupun perhiasannya. Sebagaimana halnya dengan pelaminan yang terbuat dari bambu yang dibagian depannya dibuatkan walasuji (=Bugis) atau lawasugi (=Makassar), yaitu bambu yang dipotong-potong dan dibelah-belah sesuai dengan kebutuhan, kemudian dianyam bersilang.

Perubahan yang terjadi pada perkembangan selanjutnya, bukan lagi kasur yang diletakkan dalam lamming, tetapi tempat tidur yang dibagian depan dan sampingnya dibuatkan walasuji atau lawasugi. Hiasan yang tadinya dari daun lontar diganti dengan kertas yang berwarna-warni.

Demikian juga pelaminan yang terbuat dari kayu yang dihiasi ukiran atau pahatan, dibuat seperti tempat tidur yang agak ditinggikan kemudian diatasnya ditaruh kasur. Tinggi rendahnya ukuran pelaminan ini disesuaikan dengan status sosial pemakainya yang berdasarkan keturunan. Berikut jenis-jenis pelaminan (lamming):

  1. Lamming dewasa atau lamming rewata (pelaminan dewa)
  2. Lamming tudangeng atau lamming pammempowang (pelaminan tempat duduk)
  3. Lamming attinrong atau lamming katinrowang (pelaminan tempat tidur)
  4. Lamming ananak atau lamming anak-anak (pelaminan untuk upacara 40 hari bayi)
Peralatan pelaminan disesuaikan dengan upacara yang akan diadakan. Lamming pada umumnya berbentuk segi empat, kecuali lamming dewata ada yang berbentuk segi delapan.

Sebelum peralatan lamming dipasang, terlebih dahulu dilakukan upacara yang disebut mappanre lamming artinya memberikan sesajen untuk lamming, nicerak yaitu mengadakan kurban hewan untuk kepentingan acara sesajen. Berikut kelengkapan-kelengkapan lainnya untuk upacara:
  1. Beras sigantang atau empat takar
  2. Pessepelleng atau kanjoli
  3. Rekko ota massulekka
  4. Alosi atau rappo
  5. Ittellok manuk atau bayao jangang
  6. Golla callak atau golla eja
  7. Kaluku atau kelapa
Buku LAMMING (PELAMINAN) membahas tentang sejarah singkat pelaminan, jenis-jenis pelaminan, fungsi pelaminan serta peralatan pelaminan. Buku ini merupakan koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


LAMMING (PELAMINAN) 
Penyusun: Ny. Aminah Pabittei. H., Ny. Rukmini Abd. Kadir, A. Makmun Badaruddin
Penerbit: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1977



April 12, 2021

IYANAE PAODA ADAENGNGI ATTORIOLONGNGE RI TANETE


Naskah Iyanae Poada Adaengngi Attoriolongnge Ri Tanete adalah salah satu naskah lama (lontarak) yang mengandung nilai kesejarahan, dalam hal ini sejarah lokal terbentuknya Kerajaan Tanete yang sekarang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Bugis dengan aksara lontarak. Naskah ini oleh pemiliknya, dianggap sebuah naskah yang memiliki nilai sakral dan karenanya naskah tersebut tidak boleh diperlakukan sembarangan. Meletakkannya saja harus pada tempat-tempat tertentu yang dianggap suci atau bersih dan tempat-tempat yang dianggap aman.

Untuk membacanya pun harus dilakukan secara normatif, artinya ada aturan-aturan tertentu yang harus dilakukan bila hendak membaca naskah, seperti duduk bersila secara khidmat dalam suasana yang tenang. Naskah ini berisi uraian tentang sejarah kebudayaan Tanete yang dimulai dengan kisah pertemuan To Sangiang dengan Arung Pangi dan Arung Alekale, ceritanya tentang terbentuknya Kerajaan Agganionjong, perang antara Kerajaan Agganionjong dengan Raja Sawito dan Raja Wajo, dan tentang masuknya Agama Islam di Kerajaan Tanete.

Adapun nilai-nilai luhur yang dapat diungkapkan dari lontarak ini diantaranya adalah nilai kasih sayang di antara sesama manusia, nilai persatuan dan kesatuan, nilai kepatriotan, nilai kegotongroyongan, dan berbagai nilai luhur lainnya yang dapat menunjang pembangunan.

Buku IYANAE PAODA ADAENGNGI ATTORIOLONGNGE RI TANETE berisikan transkripsi (Iyanae Poada-Adangengngi Attoriolongnge Ri Tanete) terjemahan (Inilah Sejarah Kebudayaan di Tanete Dahulu Kala); unsur-unsur yang dikandung: Pertemuan To Sangiang dengan Raja (Arung Pangi dan Arung Alekale); Terbentuknya Kerajaan Angganionjong serta beberapa pemukiman baru dalam wilayah itu; Perang dengan Raja Sawitto; Kerajaan Agganionjong menjadi Kerajaan Tanete; Masuknya Islam di Kerajaan Tanete; Hubungan Kerajaan Tanete dengan Kerajaan Bone; Hubungan Tanete-Luwu; serta Pemberontakan melawan Belanda. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin km. 7 Tala'salapang-Makassar.


IYANAE PAODA ADAENGNGI ATTORIOLONGNGE RI TANETE
Penulis: H. Abd. Gaffar Musa, M. Taufik, Agussalim, Musyawir
Penerbit: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
Tempat Terbit: Jakarta
Tahun Terbit: 1990


April 5, 2021

SASTRA SINRILIK MAKASSAR

Sinrilik adalah cerita yang tersusun dalam bentuk sastra yang diceritakan, mungkin dapat disebut nyanyian, oleh seorang ahlinya serta lazimnya diiringi alat musik, seperti kesok--kesok atau rebab. Sinrilik termasuk di antara bentuk-beentuk sastra yang digemari oleh penduduk yang berbahasa Makassar di Sulawesi Selatan. Sinrilik yang dapat dikumpulkan di Sulawesi Selatan berjumlah 15 judul, yaitu:

  1. Datumuseng
  2. Kappalak Tallung Batua
  3. I Makdik
  4. I Manakkuk
  5. Bosi Timorong
  6. Sitti Cina ri Bantaeng
  7. I Tolok Dg. Magassing
  8. Karaenna Bosia
  9. Karaeng Bosia
  10. Sitti Bunga Malige
  11. Sitti Laela
  12. Chodjah Maemuna
  13. 11 Desember
  14.  Pamileang Umunga
  15. Perjuangan Kamardekaang

Buku SASTRA SINRILIK MAKASSAR membahas tentang tema dan amanat; alur cerita serta penokohan dan latar sinrilik Makassar: Sinrilik "I Datu Museng", Sinrilik "I Makdik Daeng Rimakka", Sinrilik "I Manakkuk" dan Sinrilik "Kappalak Tallung Batua".

  • Sinrilik "I Datu Museng"
Tema sinrilik "I Datu Museng" termasuk dalam kategori manusia dan tanggung jawab, isi amanatnya bahwa setiap manusia memikul tanggungjawab yang besar dipundak masing-masing. Kesadaran akan adanya tanggungjawab memungkinkan suatu tugas dapat dikerjakan, baik oleh pengemban pengamanat, maupun oleh yang mempertaruhkannya, tanggungjawab itu bukan pasrah.
  • Sinrilik "I Makdik Daeng Rimakka"
Tema sinrilik "I Makdik Daeng Rimakka" termasuk dalam kategori manusia dan kehormatan, isi amanatnya bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai rasa kehormatan, dan ia akan marah kalau rasa kehormatan dirinya tersinggung. Kehormatan dapat bersifat perseorangan dan dapat pula berupa kehormatan kelompok dan mempunyai dasar yang berbeda antara ujung yang satu dan ujung lain.
  • Sinrilik "I Manakkuk"
Sinrilik "I Manakkuk" bertema manusia dan cinta kasih, isi amanatnya bahwa dalam kehidupan manusia cinta kasi merupakan hal yang mendasar. Dalam perwujudan cinta dapat tertuju kepada Allah Yang Maha Pencipta, dan kepada setiap hasil ciptaan-Nya, baik manusia maupun alam dan segala isinya. Cinta kepada manusia dapat tertuju kepada diri sendiri. Cinta menurut keberanian, ketabahan, disiplin dan pengorbanan.
  •  Sinrilik "Kappalak Tallung Batua".

Sinrilik "Kappalak Tallung Batua" bertema kekuasaan dan kehormatan, isi amanatnya bahwa bagaimana sikap seorang (raja) agar tetap megang tampuk kekuasaan dan kehormatan. Tokoh sinrilik ini menggambarkan seorang raja yang selalu diliputi rasa kewaspadaan untuk memelihara kebesaran dan kekuasaannya. Kadang-kadang, bahkan harus mengorbankan apa saja demi cita-citanya.

Para pasinrilik menuturkan fungsi sinrilik sebagai hiburan dan alat untuk mendidik atau memberi nasehat, masih tetap ada. Fungsi sebagai alat untuk membangkitkan semangat bertempur dan rela berkorban tidak ada lagi. Buku ini merupakan salah satu Koleksi Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7-Makassar.


SASTRA SINRILIK MAKASSAR
Penulis: P. Parawansa, Sugira Wahid, Djirong Basang, Abd. Rajab Johari
Penerbit: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Tempat Terbit: Jakarta
Tahun Terbit: 1992
ISBN: 979 459 187 4



 

April 1, 2021

RUPAMA (CERITA RAKYAT MAKASSAR)

Kehidupan suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa tidak dapat dipisahkan dengan norma yang melatarbelakangi tata kehidupan kelompok masyarakat. Hal ini seperti terungkap pula pada "Rupama" atau cerita rakyat dalam bahasa Makassar.

Sebagai salah satu bagian sastra lisan dalam bentuk cerita rakyat. Rupama dapat berfungsi sebagai hiburan sekaligus sebaagi sarana penyaluran perasaan bagi penutur atau pencerita dan pendengarnya. Selain itu, Rupama juga merupakan pencerminan sikap, pandangan dan cita-cita kelompok masyarakat. Isinya mengandung nasehat, petuah dan tuntunan hidup, misalnya hidup dengan tabah menghadapai cobaan dari Tuhan dan hidup mengabdi kepada sesama manusia.

Buku RUPAMA (CERITA RAKYAT MAKASSAR) ini memuat enam belas buah yang dikumpulkan dari berbagai informan, yakni:

  1. Caritana Pung Tedong Siaga Anak Karaeng Tellua = Cerita Pung Tedong (Kerbau) Bersama Tiga Orang Putra Raja
  2. Sabakna Natena Nikanrei Manngiwanca = Sebab Musabab Ikan Hiu Tidak Dimakan (Dalam Satu Keluarga)
  3. Ceritana I Kukang = I Kukang
  4. Caritana Passitanringang = Kisah Percintaan
  5. Caritana Jinak Akjanggoka = Cerita Musang Berjanggut
  6. Caritana Lopong Pulanndok Siang Lapong Buaja = Cerita Pelanduk dan Buaya
  7. Caritana Tau Tujua Anakna = Kisah Orang Yang Tujuh Anaknnya
  8. Caritana Lapong Buaja Na Lapong Tedong = Cerita Buaya dengan Kerbau
  9. Caritana Tau Ruaya Akbela-Bela = Dua Orang Bersahabat
  10. Caritana Tau Dorakaya Ri Tau Toana = Orang Yang Durhaka Kepada Orang Tuanya
  11. Lapong Darek-Darek Siagang Lapong Kura-Kura = Monyet dengan Kura-Kura
  12. Caritana I Tinuluk = Kisah I Tinuluk
  13. Lapong Pesok-Pesok Na Lapong Buta-Buta = Si Lumpuh dan Si Buta
  14. Lapong Jonga Siang Lapong Kura-Kura = Kisah Rusa Dengan Kura-Kura
  15. Caritana Lapong Pulandok Siagang Lapong Macang = Kisah Pelanduk Dengan Macan
  16. Tau Ruaya Sarikbattang = Dua Orang Bersaudara

Buku RUPAMA (CERITA RAKYAT MAKASSAR) berisi enam belas naskah cerita dengan versi bahasa Indonesia dan bahasa Makassar yang semula berupa cerita lisan yang berbahasa Makassar. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Keasipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


RUPAMA (CERITA RAKYAT MAKASSAR)
Penyusun: Zainuddin Hakim
Penerbit: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tempat Terbit: Jakarta
Tahun Terbit: 1991
ISBN: 979 459 133 5

PAJJONGANG (ACARA ADAT BERBURU RUSA)

Pajjongang adalah suatu acara adat perburu rusa, yang biasa diadakan oleh raja-raja Gowa, Palombangkeng/Takalar dan Jeneponto, yang merupakan suatu rangkaian acara rekreasi dan juga lomba ketangkasan berkuda menangkap rusa. Acara ini terakhir dilaksanakan pada tahun 1963 di Kabupaten Gowa.

Arena pajjongang tepatnya di depan langkeang. Langkeang ialah suatu panggung yang beratap yang dibangun disela-sela pepohonan yang merupakan tiang itu ialah pohon-pohon tempat raja dan keluarganya berada bersama undangan dan wasit. Adapun batas gelanggang itu ditandai dengan kapur atau tali yang diletakkan diatas tanah. Luas arena utama kira-kira 2.000 meter persegi atau kira-kira 40m x 50m. Di arena utama inilah rusa itu boleh ditado (dilasso).

Peserta terdiri dari perorangan dan peregu/perdaerah/kampung:

  1. Perorangan: peserta yang terdiri dari anak bangsawan dan mengambil posisi dalam gelanggang utama
  2. Peregu/Perdaerah/Kampung: regu dari berbagai daerah atau kampung dan mengambil posisi diluar gelanggang utama.

Pemenang pajjongan mendapatkan hadiah seperangkap pakaian tang terdiri dari: keris, passapu (daster), baju dan sarung. Seluruh peserta akan mendapatkan rusa diberikan kepala bersambung leher ketulang punggung sampai ekor yang disebut "KASA'RANNA". Sedangkan keempat "SAPPE"nya (paha) diambil raja selanjutnya untuk diberikan kepada tamu kehormatan, dan tulang-tulang rusuk beserta isi dan perut dimakan bersama ditepi sungai.

Buku PAJJONGANG (ACARA ADAT BERBURU RUSA) berisikan petunjuk pelaksanaan acara "pajjongang" diantaranya membahas tentang lokasi arena; langkeang; arena/gelanggang; hadiahnya; penentuan juara; peserta; kelengkapan peserta; petugas pembantu; dewan juri; pelaksanaan perburuan rusa secara adat; ketentuan dewan juri; waktu pelaksanaan dan catata-catatan lainnya. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


PAJJONGANG (ACARA ADAT BERBURU RUSA) 
Penyusun: Djohan Budiman Salengke
Penerbit: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1980