October 25, 2022

ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE: Mahkota bagi Republik

Sosok Andi Abdullah Bau Massepe tidak diragukan lagi sebagai seorang pahlawan. Pahlawan bagi rakyat Sulawesi Selatan dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Andi Abdullah Bau Massepe rela meninggalkan semua atribut-atribut kebesarannya, keluarganya, harta bendanya, nyawanya, dan segala apa yang dimilikinya demi satu tujuan, merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. "Mahkota" sebagai Datu (raja) Suppa yang disandangnya tidak dimaknai sebagai "kursi” kekuasaan layaknya seorang raja yang hanya memberikan perintah untuk memenuhi keinginannya saja. 

Lubang di Libukanne Pinrang jadi saksi bisu kekejaman yang dilakukan Belanda kepada Andi Abdullah Bau Massepe. Beliau dengan rekan seperjuangan dan rakyatnya dikubur bersama. Walaupun pihak Belanda/NICA menutup rapat-rapat peristiwa tersebut dan mengancam akan membunuh siapa saja yang membocorkannya akan ditembak mati.

Peristiwa yang menghebohkan pada 1947 akhirnya bocor dari seorang Passiangan, informan Pinrang saksi penggalian lubang di Lubukanne. Sarung sutera Samarinda berwarna ungu yang tertinggal di lubang menjadi saksi kunci kepemilikan Andi Abdullah Bau Massepe yang diberikan tantenya Andi Tenri Addatuang Sawitto atas permintaannya sendiri ketika dalam tahanan di Pinrang. Akhirnya, pada 1950, tulang belulang Andi Abdullah Bau Massepe dipindahkan untuk dimakamkan ulang di Taman Makam Pahlawan Paccekke Pare-pare yang disaksikan lautan pasang masa.

Buku ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE: Mahkota bagi Republik membahas pengorbanan beliau semasa hidupnya yang memilih berjuang dengan alasan demi keberlangsungan hidup dan tanggung jawab terhadap keluarga (istri/anak-anak) tercinta demi mewujudkan cita-cita membawa bangsa dan rakyat yang dipimpinnya ke dalam kehidupan yang lebih baik, suatu cita-cita untuk merdeka (freedom).

Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar yang juga dilengkapi tulisan-tulisan dari golongan pejuang, tokoh masyarakat, akademisi, sejarawan dan budayawan dengan tujuan memberi insight (pengetahuan yang mendalam) tentang Andi Abdullah Bau Masssepe.


ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE
Mahkota bagi Republik 
Penulis: Andi Mattingaragau Tenrigau, Andi Nur Bau Massepe
Editor: Muhammad Nur dan Sitti Mispa
Penerbit: Balai Kajian Tana Luwu
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2020
ISBN: 978-632-94289-0-7



October 21, 2022

ANDI PANDANGAI: Pahlawan Nasionalis Di Tengah Pasukan

Pada masa pergolakan revolusi 1905 dan 1946, wilayah Luwu meliputi Larompong hingga ujung Utara Malili bahkan Poso dan Kolaka adalah gudangnya para pejuang tanah air, baik prakemerdekaan maupun pasca kemerdekaan , teristimewa Andi Pandangai adalah sosok pejuang kemerdekaan di Luwu sekitar tahun 1905-1906. Lahir di Tabbaja, daerah Cilellang Palopo Selatan atau sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu, tetapi seluruh perjuangannya dilakukan di daerah Luwu bagian Utara, atas perintah Datu saat itu, Andi Kambo Opu Daeng Risompa, bahkan hingga daerah Poso dan Kolonedale Sulawesi Tengah.

Andi Pandangai mulai meniti karier dalam kemiliteran sekitar bulan Maret 1901, dalam usia 38 tahun dilantik sebagai Panglima Perang Angkatan Darat Kerajaan Luwu Bagian Utara meliputi wilayah Ana'TelluE Baebunda. Pelantikan dilakukan oleh Datu Luwu Andi Kambo Opu Daeng Risompa yang dihadiri oleh Adat 12 Luwu. Kepercayaan yang diberikan itu merupakan karier pertamanya di bidang kemiliteran dalam Kerajaan Luwu.

Buku ANDI PANDANGAI: Pahlawan Nasionalis Di Tengah Pasukan membahas perjuangan Andi Pandangai pada awal abad ke-20, kegigihan perjuangan/kepahlawanan terhadap kolonial Belanda, kemahiran dalam menyusun strategi dan taktik dalam perang.

Berikut kesaksian orang-orang yang pernah ditemani bertempur melawan Belanda, memberikan kesaksian bahwa: "Andi Pandangai Opu Nene'na Makkulau adalah sosok pemberani melawan Belanda, tidak ada tandingannya, dan apabila ada yang menyamainya-satu orang, namun yang keduanya, atau yang ketiganya sulit akan ditemukan. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


ANDI PANDANGAI: Pahlawan Nasionalis Di Tengah Pasukan
Menelusuri Jejak Revolusi Luwu 1905 dan 1946
Penulis: A. Mattingaragau T, A. Asiz Tenrigau, Kasmad
Editor: A. Molang Chaerul
Penerbit: Andi Djemma University Press
ISBN: 978-979-24-5412-3

October 17, 2022

RANGGONG DG. ROMO PANGLIMA LAPRIS

Ranggong Dg. Romo  adalah sosok pejuang yang mengutamakan kepentingan dan kemerdekaan rakyat dan bangsanya yang berasal dari daerah Takalar khususnya Polombangkeng, yang ingin melihat rakyat dan bangsanya bebas dari penindasan dan penjajahan serta imperialisme.  

Perjuangan Ranggong Dg. Romo dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan, telah dibuktikan ketika beliau sebagai Pimpinan Tertinggi di Bidang Kemiliteran dalam Gerakan Muda Bajeng, Pucuk Pimpinan dalam kelaskaran Lipan Bajeng, dan Panglima dalam Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (LAPRIS). 

Kelaskaran Lipan Bajeng ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya laskar perjuangan yang ada di daerah Sulawesi Selatan dan sekaligus merupakan salah satu wadah bagi rakyat yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Serta menentang penjajahan Belanda dalam usahanya ingin mencoba menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia pada umumnya, dan di Sulawesi Selatan pada khususnya. Maka tidak dapat disangkal terjadinya beberapa kali bentrokan senjata antara kelaskaran tersebut dengan Belanda yang ingin menanamkan kekuasaannya kembali di daerah ini. Pertempuran demi pertempuran, penyergapan demi penyergapan terhadap kubu-kubu pertahanan dan patroli musuh (Belanda/NICA) silih berganti sepanjang tahun 1946 hingga 1947. 

Kelaskaran-kelaskaran yang selama ini berjuang secara terpisah di daerah masing-masing dengan suatu tujuan yang sama untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan, berusaha mengorganisasikan kesatuan komando dalam suatu wadah. Untuk mewujudkan rencana penyatuan kelaskaran-kelaskaran yang tersebar di setiap daerah dalam suatu wadah, maka pada tanggal 17 Juli 1946, terbentuklah suatu wadah organisasi kelaskaran yang dinamakan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi (LAPRIS), yang terdiri dari gabungan 19 organisasi laskar perjuangan yang dibentuk setalah diadakan pertemuan di antara berbagai organisasi kelaskaran perjuangan di Rannaya Komara (Polombangkeng) pada tanggal 15 sampai 17 Juli 1946.

Menurut beberapa literatur, Ranggong Dg. Romo selama dalam kariernya memimpin kelaskaran dalam perjuangan mempertahankan dan membela kemerdekaan, baik dalam Gerakan Muda Bajeng, Lipan Bajeng maupun LAPRIS telah memimpin pertempuran atau memerintahkan penyerangan kurang lebih lima puluh kali dari kurang lebih enam puluh kali bentrokan senjata antara pasukan kelaskaran (Gerakan Muda Bajeng, Lipan Bajeng dan LAPRIS) dengan pihak musuh (Belanda/NICA). Tanggal 21 Februari 1946 untuk pertama kalinya beliau memimpin pertempuran dengan kekuatan 100 orang anggota menyerang kubu serdadu Belanda di daerah Takalar. Tanggal 28 Pebruari 1947 merupakan pertempuran terakhir yang dipimpin oleh beliau di bukit Langgese, dimana beliau sendiri gugur dalam pertempuran tersebut.

Buku RANGGONG DG. ROMO PANGLIMA LAPRIS membahas tentang latar belakang kehidupan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan sebagai pemimpin tertinggi dalam Gerakan Muda Bajeng, Laskar Lipan Bajeng, serta peranan Ranggong Dg. Romo  dalam Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi. Selain itu  juga memuat pengalaman-pengalaman dan pendapat-pendapat mengenai Ranggong Dg. Romo. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


RANGGONG DG. ROMO PANGLIMA LAPRIS 
SEBUAH BIOGRAFI PERJUANGAN DI SULAWESI SELATAN

Penulis: Muhammad Arfah, Muhammad Amir, Faisal
Penerbit: Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1991


 

October 11, 2022

KEBUDAYAAN TORAJA

Etnis Toraja, sebagai salah satu etnis di Sulawesi bagian Selatan, yang menjalani garis hidup dan kehidupannya menurut adat (kebiasaan), aluk (agama), dan kebudayaan. Salah satunya ajaran inti Aluktodolo (agama leluhur) orang Toraja dalam sebuah rekaman tertulis (onthology). Aluktodolo yang terdiri dari Aluk Rampe Matallo atau Rambu Tuka' dan Aluk Rampe Matampu' atau Rambu Solo', sering disebut Aluk Simuane Tallang Silau' Eran, diyakini sebagai aluk (agama) yang diturunkan Sang Pencipta (Puang Matua) dari dunia gaib (langi) bersama dengan manusia pertama, yakni Puang La U'ku’dan diwariskan kepada anak-cucunya (orang Toraja).

Implementasi Aluktodolo dalam dua versi yakni: Rambu Tuka dan Rambu Solo', memiliki banyak ketentuan, persyaratan adat, aturan, dan sanksi-sanksi adat yang harus dipenuhi. Oleh sebab itu, pemangku ada' (adat) di Toraja memiliki strata dan tata cara menyebarluaskan dan memantapkan ajaran Aluktodolo kepada anak cucunya dan masyarakat di sekitarnya sejak dulu hingga sekarang dan di masa yang akan datang. 

Tingkat tingkatan para pemangku adat ini tersusun mulai dari to-minaa bakaa (gora tongkon), to-minaa burake, to-minaa sando, to-minaa, dan rangga kada. Ke semua tingkatan ini sangat memahami standar, metode, gaya bahasa penyampaian, sasaran (target), dan maksud penyampaian ajaran aluktodolo (epistemology). Bahasa yang digunakan dalam penyampaian ajarannya adalah bahasa gora-tongkon dan tata penyampiannya adalah gaya ponto banning, yakni cara termulia untuk menyampaikan sesuatu kepada sasaran yang dituju. Cukup mengagumkan sehingga pemaknaannya pun (axiology) dapat diyakini berkualitas filosofi yang tinggi. 

Buku KEBUDAYAAN TORAJA (MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA MENDATANG) diawali dari pengenalan Aluktodolo, asal-muasal orang Toraja, sistem kekerabatan dan kekeluargaan orang Toraja dalam sistem tongkonan (rumah adat), sistem pernikahan (rampanan kapak) dan sanksinya (tanak), pusaka orang Toraja (manakna Toraya), patok-ukur kekayaan orang Toraja (tedong), hukum adat etnis Toraja (tarian pitu), arti dan makna ukiran (passura'na Toraya), adat dan musyawarah adat (ada' sola kombongan ada), pasar sebagai kalender hidup, kesenian (pa'tendengan), sistem ekonomi tongkonan, dan lintas ossoran di Sulawesi Selatan.  

Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selata yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar yang dilengkapi lampiran daftar to-pada tindo to-misa pangngimpi (misa' kada dipomate, pantan kada dipotuo) dalam perang Untulak Buntunna Bone melawan pasukan (berakhir 1690) Arung Palaka dari Bone.


KEBUDAYAAN TORAJA 
(MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA MENDATANG) 
Penyusun: Frans Bararuallo 
Penerbit: Yogyakarta Pohon Cahaya
Tempat Terbit: Pohon Cahaya
Tempat Terbit: Yogyakarta
Tahun Terbit: 2010


October 10, 2022

WE MANIRATU ARUNG DATA

Mappasessu Toappatunru menjadi raja Bone pada 1812, We Maniratu Arung Data diberi amanah untuk menjadi panglima (ponggawa) laskar wanita. Setelah La Mappasessu wafat, We Maniratu Arung Data diberi amanat untuk menjadi panglima (ponggawa) laskar wanita. Setelah La Mappasessu wafat, We Maniratu Arung Data diangkat menjadi raja Bone pada 1823, dan merupakan salah satu dari enam raja wanita yang pernah memerintah Kerajaan Bone. Pada masa pemerintahannya kembali terjadi konflik berupa perang antara Bone dengan Belanda yang berlangsung hingga akhir kekuasaannya pada 1835.

Konflik antara Bone dengan Belanda kembali bergolak setelah Belanda mulai melakukan penataan pemerintahan pasca kekuasaan Inggris di Sulawesi Selatan pada 1816. Kerajaan Bone menolak dan menentang kembalinya Belanda di daerah ini. Sebab selain mengancam eksistensi Kerajaan Bone, juga mengancam pengaruh dan kekuasaannya atas sejumlah wilayah yang diduduki. Bahkan tidak sedikit kerajaan di daerah ini yang menyandarkan kewibawaan dan kekuatannya pada Bone. 

Konflik semakin meruncing ketika Belanda mengundang raja Bone, untuk membicarakan pembaharuan Kontrak Bungaya, dan itu ditolak raja Bone. Akhirnya terjadi perang antara Kerajaan Bone dengan Kolonial Belanda. Pertarungan yang seru kekuatan senjata dua belah pihak digambarkan dalam buku ini. Sikap dan pendirian Raja Bone We Maniratu Arung Data vang menolak kembalinya Belanda itu tetap ditunjukkan sampai wafat pada 1835.

Buku WE MANIRATU ARUNG DATA: Srikandi dalam Perjuangan Melawan Belanda yang mengisahkan perjalanan perjuangan melawan Belanda yang ingin kembali menjajah wilayah Kerajaan Bone dan sekitarnya. Perlawanan raja Bone ke-25 dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama, dilukiskan awal perlawanan terhadap Belanda, selanjutnya puncak perlawanan dan diakhiri dengan penggambaran pasca perlawanan. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin KM. 7 Tala'salapang-Makassar.


WE MANIRATU ARUNG DATA
Srikandi dalam Perjuangan Melawan Belanda

Penulis: Bahtiar, Muhammad Amir, Rosdiana Hafid
Penerbit: Pustaka Refleksi
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2015
ISBN: 978-979-3570-80-8


October 7, 2022

HAJI MATTEWAKKANG DAENG RAJA

Haji Mattewakkang Daeng Raja lahir di desa Maero, Binamu Jeneponto pada tanggal 10 Januari 1910. Beliau adalah putera Lompo Daeng Raja yang bergelar Ilanga ri Gunung Sitoli, raja Kerajaan Bainea, permaisuri Tangkalase Daeng Balang.

Di dalam kariernya sebagai  pejabat pemerintahan, pemimpin sekelompok masyarakat yang aristokratis, dan juga sebagai salah seorang pemimpin perjuangan menentang imperialisme kolonialisme; menunjukkan bahwa kepemimpinan Mattewakkang Daeng Raja merupakan warisan tradisional yang dijumpai dalam masyarakat feodalistis pada umumnya. 

Menurut pandangan masyarakat, ia adalah personifikasi dari  pada  keagungan, kekuatan dan kekuasaan yang harus dihormati sebagaimana yang dituntut oleh adat. Di dalam menjalankan pemerintahan, dari beberapa sikap beliau tampak hal-hal yang menunjukkan rasa ketidakpuasannya terhadap kekuasaan kolonial khususnya Hindia Belanda; bahkan terkadang secara terang-terangan menentang pelaksanaan politik kolonial yang menyengsarakan rakyat. Sebagaimana terbukti beliau meletakkan jabatannya sebagai Karaeng Binamu pada tanggal 20 Mei 1946.

Partisipasi aktif beliau di dalam perjuangan kemerdekaan, ialah menjelang kekuasaan Jepang di Indonesia dengan dibentuknya organisasi perjuangan Sumber Darah Rakyat yang disingkat SUDARA yang induknya berkedudukan di Makassar. Namun SUDARA tidaklah berusia lama karena dibubarkan oleh pemerintah militer Jepang, ketika gejala-gejala kekalahannya dalam perang Asia Timur Raya mulai tampak.

Organisasi pejuang lainnya adalah Gerakan Muda Turatea, yang disingkat GMT sebagai wadah perjuangan di Jeneponto. Dasar perjuangannya ialah: menjalankan pemerintahan dan perjuangan bersenjata menegakkan serta membela kemerdekaan.

Di dalam organisasi ini, secara formal Haji Mattewakkang Daeng Raja tidak duduk sebagai pengurus, mengingat kedudukannya sebagai kepala pemerintahan Landschap Binamu, dan dalam rangka perjuangan, khususnya sebagai strategi dalam menghadapi masalah-masalah perjuangan yang bersifat diplomatis. Namun pada kenyataannya, beliau berfungsi sebagai penasihat, baik diminta maupun tidak; dan juga sebagai pelindung apabila ada kaum pergerakan yang tercium oleh mata-mata Belanda.

GMT ternyata berhasil menempah dan meningkatkan semangat juang rakyat menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Usaha-usaha nyata mulai dilakukan antara lain: "menggranat rumah Letnan Bom, pimpinan tentara NICA di Jeneponto, namun tidak berhasil karena granatnya tidak meledak.

Karena semakin sempitnya ruang gerak GMT untuk digunakan sebagai organisasi perjuangan. Untuk itu dibentuk suatu badan perjuangan baru yang lebih mantap dan tangguh yang pada dasarnya berjuang melanjutkan cita-cita GMT.

Pada tanggal 10 Agustus 1945 dibentuklah organisasi kelasykaran yang diberi nama Lasykar Pemberontak Turatea, disingkat LAPTUR. Dibentuk didesa Embo Tamalate Jeneponto. Markas besarnya ditempatkan di Maero Bontoramba. Organisasi inilah yang merupakan inti organisasi kelasykaran di Jeneponto sampai dengan pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan RI. Di dalam struktur organisasi LAPTUR, secara formal Mattewakkang Daeng Raja duduk sebagai pelindung/penasehat di samping tokoh-tokoh lainnya yakni Haji Kambessi Daeng Lurang, Haji Kurri Daeng Jalling, Haji Mustamu dan Parawangsa Daeng Sawi.

Buku HAJI MATTEWAKKANG DAENG RAJA  membahas tentang jiwa dan semangatnya dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


HAJI MATTEWAKKANG DAENG RAJA
Penyusun: Rukmini
Penerbit: Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1981



                                                                                                                                                                                                                                                      

October 5, 2022

KAPTEN PAHLAWAN LAUT

Pulau Kalukalukuang masuk dalam gugusan pulau di Kecamatan Liukang Kalmas Kabupaten Pangkep. Hari itu tanggal 23 April 1932 diluncurkan Lete milik 23 sebuah perahu tipe H. St. Hawa. Perahu itu dibuat dan diramu oleh Malla Ali dkk yang kemudian diberi nama Kapten Baru. Perahu itu berbobot 16 ton, panjangnya 12 meter, lebarnya 3 meter, bernomor lambung 2690 Lla. Dibuat dari kayu jati dan ulin. Pelayaran perdananya ke Makassar memuat hasil bumi dan laut.

Menjelang Kemerdekaan, Konsolidasi kekuatan perjuangan bersenjata di Jawa dan daerah seberang mulai dilakukan. Pasukan Markas Pertahanan ALRI Daerah III Pangkalan Seberang dengan Resiment Command Mayor Djohan Daeng Mangung bermarkas di Lawang, Jawa Timur memerintahkan ekspedisi ke Sulawesi Selatan yang dikenal ekspedisi IX TRIPS (Tentara Rakyat Persiapan Sulawesi). Salah satu di antaranya menggunakan perahu Lete Kapten Baru. Kelak, status perahu ini berubah dari sarana transportasi ekonomi menjadi sarana perjuangan bangsa melawan penjajah. Nama perahu ini kemudian berubah menjadi Kapten Pahlawan Laut diantaranya dipimpin oleh Kapten Hasan Rala.

Buku KAPTEN PAHLAWAN LAUT membahas kisah dan peran perahu 'Kapten Pahlawan Laut' dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan. Perahu Kapten Pahlawan Laut yang sebelumnya bernama Kapten Baru kini menjadi saksi sejarah yang telah diukir dengan tinta emas karena keterlibatannya dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, menjadi kebanggaan rakyat Kabupaten Pangkep khususnya dan rakyat Sulawesi Selatan pada umumnya, yang kini menjadi bagian khazanah kebanggaan bangsa di Museum TNI – AL Loka Jala Srana Bumi Moro Surabaya, seperti perahu SEGIGIR yang digunakan resimen Jokotole yang dipimpin oleh Letkol. Chandra Hasan dengan beberapa pengawalnya pada tahun 1947 di Pulau Madura melawan tentara Belanda.

Perjalanan ekspedisi ini bukan hal yang mudah, sebab di laut pasukan Belanda siap memusnahkan setiap gerakan yang mencurigakan. Dengan perlengkapan dan alat navigasi yang sederhana serta perbekalan yang sangat minim tidak mengurangi tekad para pejuang-pejuang untuk turut menentukan tegaknya republik tercinta yang telah lama didambakan oleh segenap Bangsa Indonesia.


KAPTEN PAHLAWAN LAUT 
Penulis: H. Djamaluddin Hatibu
Penerbit: Pustaka Refleksi
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2008
ISBN: 979967320-8



October 4, 2022

HAJJAH ANDI DEPU MARADDIA BALANIPA

Situasi dan kondisi mengharuskan wanita Sulawesi Selatan keluar dari lingkungannya dan turut terlibat dalam perjuangan yang pada umumnya dilakukan oleh kaum pria, salah satunya Andi Ninnong, Opu Daeng Risaju, Ibu Andi Depu menghiasi sejarah dalam menentang penjajah asing.

Ibu Andi Depu berjuang atas kesadarannya sendiri bahwa penjajahan mendatangkan penderitaan bagi bangsanya. Beliau berjuang tanpa mengenal kompromi, bahkan rumah tangganya sekalipun rela ia korbankan demi perjuangan kemerdekaan yang dicita-citakannya. Ibu Andi Depu berasal dari kalangan bangsawan Mandar, yaitu putri dari raja Balanipa Mandar. Namun dalam kehidupannya sehari-hari senantiasa merakyat, olehnya itu beliau sangat dicintai oleh rakyatnya, karena tidak membeda-bedakan orang.

Di dalam perjuangannya menentang keras penjajahan bangsa Belanda utamanya atas daerah Mandar, karena beliau berprinsip bahwa bangsa Belanda tidak berhak lagi atas daerah itu, sesuai dengan penandatanganan perjanjian pada tahun 1906.

Taktik perjuangan beliau adalah dengan mengadakan penyergapan secara tiba-tiba terhadap pasukan Belanda yang sedang mengadakan ekspedisi. Dalam perjuangannya ini beliau berhasil mengumpulkan pemuda pemudi didaerah Majene dan membentuk pasukan wanita yang diberi nama Devisi Melati yang akhirnya bergabung dengan KRIS MUDA Mandar. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejuang ini Ibu Depu tidak bergerak seorang diri melainkan beliau selalu mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin kelaskaran didaerah lain, bahkan beliau pernah mengutus saudaranya yaitu A. Malik untuk ke Kalimantan dan Jawa guna meminta bantuan persenjataan.

Buku HAJJAH ANDI DEPU MARADDIA BALANIPA merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri dalam enam pokok bahasan yaitu : 

  • Bab I. Diutarakan secara umum dari penulisan biografi ini tentang perjuangan wanita di Sulawesi Selatan pada umumnya dan riwayat perjuangan Ibu Andi Depu pada khususnya.
  • Bab II. Dijelaskan tentang gambaran umum daerah Mandar yang merupakan pusat daerah perjuangan dari Ibu Andi Depu. Diberikan gambaran bagaimana keadaan lokasi, penduduk, bahasa, kesenian, sistim kekerabatan dan latar belakang dari daerah tersebut.
  • Bab III. Diungkapkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan peranan wanita di Sulawesi Selatan dalam menentang penjajahan asing, tentang bagaimana peran dan keikutsertaan wanita di Sulawesi Selatan mulai dari masa Hindia Belanda, masa Jepang hingga masuk ke masa kemerdekaan.
  • Bab IV. Diuraikan secara rinci tentang keberadaan Ibu Andi Depu, mulai pada masa kanak-kanaknya, pendidikan serta kehidupan rumah tangga serta hal-hal yang melatar belakangi mengapa sehingga beliau begitu antusias untuk terjun ke dalam kancah perjuangan di waktu itu.
  • Bab V. Diuraikan tentang perjuangan Ibu Andi Depu pada masa menjelang dan sesudah kemerdekaan, di mana beliau dikenal sebagai pemimpin dari kelaskaran Kris Muda yang tak pernah gentar menghadapi tantangan apa pun, sehingga beliau akhirnya menjadi buronan tentara Belanda dan bergerilya masuk hutan demi untuk mempertahankan kemerdekaan tanah airnya.
  • Bab VI.   Diuraikan secara singkat dan jelas mengenai penulisan buku ini serta pesan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

HAJJAH ANDI DEPU MARADDIA BALANIPA 
Penyusun: Aminah Hamzah, Delila Supeno, Nuraeda
Penerbit: Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1991


I LA GALIGO : CERITA BUGIS KUNO

Cerita Galigo dimulai pada waktu dewa-dewa di Kayangan mufakat dalam satu pertemuan untuk mengisi waktu (dunia tengah = Peretiwi) dengan mengirim Batara Guru anak Patotoe di langit dan We Nyili'timo anak Guru ri Selleng di Peretiwi untuk menjadi suami istri. Dari perkawinan keduanya ini lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu', yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Luwu'. Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari Langit serta pengiring We Nyili'timo dari Peretiwi, lahirlah beberapa orang putra mereka yang kelak diangkat menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu' sekaligus pembantu Batara Guru.

Setelah Batara Lattu' cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Senngeng, anak La Urumpessi bersama We Padauleng di Tompo'tikka. Sesudah itu Batara Guru bersama istri kembali lagi ke Langit. Dari perkawinan keduanya itu lahirlah Sawerigading dan Tenriabeng sebagai anak kembar, seorang lelaki dan seorang perempuan. Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka berangkat remaja tidak akan saling jatuh cinta.

Namun demikian, suratan menentukan yang lain, sebab di rantau Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya. Sejak itu hatinya resah selalu hingga pada suatu waktu ia berhasil melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksudnya itu mendapat tantangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak, karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan. Seluruh negeri bersedih kebingungan.

Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina menemui jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perawakannya sama benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke Cina, We Tenriabeng sendiri naik ke Langit dan kawin dengan tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading mengawini I We Cudai, yang tunangannya (Settia Bonga) sudah lebih dahulu ia kalahkan dalam satu pertempuran di tengah laut dalam perjalanannya menuju Cina. Mereka hidup rukun dan bahagia dan memperoleh tiga orang anak, yaitu I La Galigo, Tenridio dan Tenribalobo. Dari seorang selirnya (I We Cimpau) Sawerigading beroleh seorang anak yang diberinya nama We Tenriawaru.

Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau, menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika inginlah I We Cudai berkunjung ke negeri suaminya menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya ia tidak akan menginjakkan kaki lagi di tanah Luwu'. Tetapi sayang akan istri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya ia pun menetapkan akan ikut serta. Mereka lalu berangkat. Tiba di. Cina, dengan alasan kasihan akan mertua ditinggalkan sendiri, ia lalu memutuskan untuk kembali ke Cina. Belum juga lama di Cina, ia pun merasa gelisah mengingat anak, istri, orang tua dan kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan. Akhirnya dengan sembunyi-sembunyi ia berangkat menyusul istri dan anak cucunya. Tidak berapa lama setelah Sawerigading tiba di Luwu', Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu'. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewa-dewa yang ada di Kawa (Bumi) harus segera kembali ke Langit atau Peretiwi, dengan meninggalkan masing-masing seorang wakil.

Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing, Sawerigading pun bersama anak, istri dan cucunya pulang ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke Peretiwi. Di sana ternyata ia disambut dengan gembira, karena memang sudah lama ia ditunggu untuk menggantikan neneknya sebagai penguasa di sana. Di Peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di Langit, yang selanjutnya dikirim ke Luwu' untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu Langit ditutup, sehingga penguasa yang ada di Peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk membaharui darah mereka sebagai penguasa.

Mudah-mudahan penerbitan ini dapat mencapai sasarannya, sekurang-kurangnya mengundang hasrat yang lebih besar untuk membaca naskah cerita Galigo dan membangun citra yang lengkap mendekati yang sesungguhnya.

Buku I LA GALIGO merupakan cerita Bugis yang memiliki dua jenis tradisi tulis dan tradisi lisan. Penyebaran cerita Galigo dalam bentuk tradisi lisan tidak hanya didapati di kalangan masyarakat berbahasa Bugis saja, melainkan meluas pada beberapa daerah yang masyarakatnya menggunakan bahasa daerah yang berbeda-beda, seperti misalnya Toraja, Enrekang, Mandar, Wolio (Sulawesi Tenggara), Kaili (Sulawesi Tengah) dan Gorontalo (Sulawesi Utara). Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


I LA GALIGO
Penulis: R. A. Kern
Penerjemah: La Side, Sagimun
Penerbit: Gadjah Mada University Press
Tempat Terbit: Jakarta


October 3, 2022

SEJARAH SINGKAT KELURAHAN LANCIRANG

Nama Lancirang berasal dari nama sejenis burung yang di kenal oleh kebanyakan orang namanya burung Lancirang atau umumnya dikenal oleh masyarakat disebut burung kutilang. Burung kutilang ini manakala berbunyi ekornya terungkit, dan terungkit naik turun, hal itulah yang disebut oleh kebanyakan orang Bugis sebagai Lancirang dan untuk memperhalus ucapan bahasa itu, maka orang menyebut "Manu-manu Lancirang".

Asal usul dari pada pemerintahan pertama-tama yang memangku Jabatan di Lancirang itu berasal dari sebuah perkampungan di dekat Kota Pare-Pare (sekarang) yaitu sebelah Utara dan di sebelah Barat Sungai PadangngE (Salo PadangngE). Tempat itu jagalah dihuni oleh burung Kutilang dan Raja - Raja yang antara lain Petta MayoroE yaitu Raja yang berpangkat Mayor.

Pada zaman sebelum merdeka yaitu pada zaman kerajaan Bugis yang biasa disebut Parenta Ogi, pada waktu itu Lancirang sebagai salah satu Kampung sebagaimana lazimnya sebuah Kampung lainnya diperintah oleh seorang Kepala, pada waktu itu di Kepalai oleh seorang yang bernama WA LAMBA.

WA LAMBA memangku Jabatan tidak seberapa lamanya, kemudian di gantikan oleh seorang yang bernama LA BEDDU yang waktu itu lebih populer di sebut namanya dengan panggilan WA BEDDU.

Pada zaman penjajahan Belanda (Pemerintahan Belanda) WA BEDDU memangku Jabatan sebagai Kepala Kampung dan nanti pada waktu ini baru di mulai diadakan pembangunan yang berupa pembukaan jalan-jalan raya kemudian jembatan-jembatan. 

Adapun orang-orang yang di dukung oleh Raja-Raja itu adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan terhadap Raja seperti misalnya pemberani atau karena Raja itu pernah ditolong oleh orang itu sehingga untuk membalas utang budinya, salah satu jalan adalah mendukung orang itu untuk menjadi Kepala Kampung. Atau orang itu berjasa dalam melaksanakan tugasnya yang ditugaskan seperti menyelamatkan harta benda Raja dengan jalan menjaga dan memperbanyak melalui usahanya sendiri. Hal inilah yang di lihat oleh Raja untuk menjadi seorang pemimpin Kepala Kampung Lancirang. 

Sejak zaman Belanda Kampung Lancirang ini sudah di bagi dalam beberapa bagian Kampung kecil antara lain Sumpang Mango. Menurut sebagian orang, dahulu kala di tempat ini pernah berdiam seorang yang sangat perkasa dan mempunyai beberapa ekor anjing dan menganggap anjing itu sebagai penjaganya sehingga pada waktu-waktu tertentu manakala memanggil anjingnya suaranya sangat keras sehingga suara panggilannya itu terdengar sampai di Daerah Wajo yaitu di Belawa yang kita kenal sekarang. 

Orang itu di anggap mulia sehingga di panggil sebagai Raja yang di Petta LairungngE. Gelar ini di berikan karena pada waktu di makamkan di bawah sebuah pohon besar selalu ada burung Lairung yang bertengger di atasnya. SoppaE adalah sebuah bagian dari Lancirang yang letaknya sekarang di perbatasan Belawa. Kemudian Padangloangnge yang merupakan ibu Kota Samang Langi. Pada tahun 1966 Kampung Lancirang berubah menjadi Wanua Lancirang.

Buku SEJARAH SINGKAT KELURAHAN LANCIRANG memuat asal mulanya, latar belakang, peristiwa-peristiwa penting, silsila dan demografi. Buku ini salah satu koleksi Layanan Deposit Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


SEJARAH SINGKAT KELURAHAN LANCIRANG
Penyusun: Ambo Tang
Penerbit: Departemen P dan K Kecamatan Dua Putue
Kabupaten Sidenreng Rappang
Tempat Terbit: Tanrutedong
Tahun Terbit: 1996