Maddewata
berasal dari bahasa Bugus, “ma” artinya melakukan, “Dewata” dari dua kata “de”
(tidak ada/tidak tampak) “watang” (fisik/tubuh/bentuk), yang bermakna sesuatu
yang tidak tampak fisiknya/bentuknya/tubuhnya, dengan kata lain adalah Tuhan.
Maddewata merupakan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Bugis Kuno untuk
memohon berkah, restu, keberhasilan dan keselamatan dari Yang Maha Kuasa/Dewata
atas segala hajat yang dilakukan oleh manusia.
Maddewata (Sere
Maddewata) kemudian lebih dikenal dalam masyarakat etnis Bugis, khususnya di
wilayah Pammana sebagai Sere Bissu, karena keseluruhan rangkaian dari upacara
Maddewata tersebut dipimpin dan diperankan oleh Bissu, yakni dimulai dari
proses mattangnga esso (penentuan hari/persiapan hajatan) sampai dengan setelah
berahirnya hajatan.
Bissu
merupakan sebuah komunitas tradisional yang diyakini oleh masyarakat Bugis Wajo
sebagai manusia suci, mempunyai kesaktian, tabib/dukun, penasehat dalam kerajaan
sekaligus perantara dan penyampai kehendak antara makhluk di bumi
(Alekawa/Butting lino) dengan makhluk di khayangan (Butting langi/buri’ langi’/dunia
atas’) dan makhluk yang mendiami dasar laut (Butting ri Liu/Buri’ liu/dunia
bawah) karena Bissu menguasai torilangi’, sekaligus penyambung lidah antara
rakyat dengan Datu (Raja) yang memerintah dalam masyarakat Bugis Wajo.
Masyarakat
Bugis Kuno meyakini, bahwa kehadiran Bissu di Bumi sebagai penyempurna dan
penyeimbang dari kehadiran leluhur orang Bugis dibumi yakni Batara Guru (penghuni
Buri langi’/kerajaan langit) yang kemudian mempersunting We Nyili Timo
(penghuni dari Buri’ Liu/kerajaan dasar laut), sebagai penasehat dan pendidik
putra-putri raja, sebagai pendeta kuno yang ditempati meminta nasehat tentang
hari baik pelaksanaan hajatan, sebagai peramal baik-buruknya pertanian yang
dilakukan oleh warga, menentukan hari baik membangun dan memidahkan rumah, dan
segala seluk beluk aktifitas ritual keseharian masyarakat Bugis kuno.
Tugas dan tanggungjawab sebagai seorang Bissu sangatlah berat sebagimana syarat-syarat menjadi Bissupun melalui tahap yang sangat rumit, yakni harus suci dari hal-hal yang sifatnya duniawi, terutama harus menjaga syahwat baik terhadap perempuan maupun laki-laki dengan tidak melakukan hubungan intim layaknya suami-istri, harus berpola laku dan bertutur kata malebbi (mulia), tidak boleh cakkidi-kidi (genis dan menggoda), harus melempu/mabberekkada tongeng (jujur), memiliki sifat mappakatau (menghargai sesama manusia) nakututui alena (menjaga harkat dan martabat sebagai seorang Bissu), dan mampu memberi makan bagi orang banyak (bersedekah makanan baik kepada orang kesusahan maupun tidak sebagai tanda alabongeng ati/sifat dermawan), yang intinya Bissu senantiasa harus menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan manusia, alam dan makhluk lainnya.
Bissu yang
kebanyakan berprofesi sebagai Indo Botting/inang pengantin (tukang make up
pengantin sekaligus tukang masak dan tukang pasang tenda, pelaminan dan semua
persiapan dan perlengkapan pengantin), hampir tiap saat terutama pada musim
pengantin di desa Kampiri, Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo.
Buku MADDEWATA,
LALOSU, PAJAGA: Perempuan dan Bissu dalam Lingkaran Pertunjukan Etnis Bugis membahas
tentang Maddewata (Sere Bissu), Lalosu Makkunrai Wajo, Pajaga Makkunrai serta
Perempuan dan Bissu dalam Lingkaran Seni Pertunjukan Etnis Bugis. Buku ini merupakan
salah satu koleksi Layanan Deposit Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala’salapang,
Makassar.
Penulis: Nurwahidah
Penerbit: Pusaka Almaida
Tempat Terbit: Gowa
Tahun Terbit: 2018
ISBN: 978-602-5954-93-1