June 6, 2022

PANCASILA : Ideologi Tanpa Oposisi

Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila yang disusun dan dibentuk secara sadar oleh para tokoh-tokoh pemikir, pejuang dan pemimpin Indonesia. Dalam KBBI sendiri, Ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Pancasila sengaja didesain sebagai ideologi tengah tanpa oposisi yang berbeda dengan semua ideologi negara lain yang dikembangkan oleh presiden Soekarno padang sidang umum PBB di New York. 

Dalam pidato tersebut presiden Soekarno menyebut bahwa Pancasila tidak menganut individualisme dan kapitalisme, bukan hanya itu, Pancasila juga tidak menganut kolektifisme dan sosialisme ala komunis. Pancasila memuat gagasan dan nilai-nilai yang memadukan peran negara serta peran swasta sebagai jalan tengah, maka dari itulah mengapa ideologi ini berbeda dengan ideologi negara lain.
Pancasila juga mengandung nalai-nilai teosentris dengan menghormati nila-nilai antroposentris yang berimplikasi pada struktural yang berarti bahwa Indonesia sebagai penganut ideologi Pancasila bukan negara sekuler dan juga buka negara agama.

Selain itu, dalam buku yang ditulis oleh Anwar Arifin dengan judul Pancasila : Ideologi Tengan tanpa Oposisi ini, di dalamnya juga dibahas lebih lanjut alasan mengapa Pancasila merupakan ideologi tengah tanpa oposisi yang memiliki implikasi kultural dalam berbagai dimensi seperti lahirnya budaya transendental, budaya gotong royong, budaya berbagi, budaya kekuasaan mencari orang serta budaya yang selaras serasi dan seimbang. selain itu buku ini juga memuat tentang Pancasila dan dinamika demokrasi serta tantangan yang dihadapi penganut ideologi Pancasila.
Buku karya Anwar Arifin yang ke-57 ini merupakan koleksi pada layanan Deposit Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.

Pancasila : Ideologi Tengah Tanpa Oposisi
Penulis : Anwar Arifin 
Penerbit : Nufa Citra Mandiri
Tempat Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2018
ISBN : 978-602-18771-7-3

PAJOANGA DAENG NGALLE: KARAENG POLOMBANGKENG

Pajonga Dg. Ngalle, adalah salah seorang pejuang dan patriot bangsa yang tangguh dalam mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan dengan ikut aktifnya memimpin pemerintahan, organisasi kelasykaran dan perjuangan diplomasi bersama-sama dengan pemimpin pergerakan dan raja-raja pro republik.

Buku PAJOANGA DAENG NGALLE: KARAENG POLOMBANGKENG membahas riwayat hidup Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polombangkeng salah satunnya hadir dalam pertemuan yang dilaksanakan pada akhir bulan September 1945, kediaman Andi Mappanyukki di Jogaya, pinggiran selatan kota Makassar. Pertemuan itu diprakarsa oleh Raja Bone Andi Mappanyukki. Hadir dalam pertemuan itu masing-masing:

  1. Andi Mappanyukki (Raja Bone)
  2. Andi Jemma (Raja Luwu)
  3.  Andi Abdullah (Raja Suppa/Lolo)
  4. Andi Makkasau (Raja Suppa/Toa)
  5. Ibu Depu (Raja Balangnipa/Mandar)
  6. Andi Abdullah Majid (Mandar)
  7. Pajonga Daeng Ngalle (Raja Polombangkeng)
  8. Andi Sultan Daeng Raja (Raja Gattareng, Bulukumba)
  9. Arung Gilireng (dari Wajo)
Adapun isi perundingan para raja-raja di Sulawesi Selatan di Jongaya itu, berupa ikrar "berdiri dibelakang Republik Indonesia dan menolak pendaratan NICA". Pernyataan atau ikrar tersebut disampaikan kepada Brigjen Ivan Daugharty (Sekutu) dan ikut disaksikan oleh Mayor Wegner dari NICA. Dengan keputusan raja-raja di Sulawesi Selatan yang pro Republik, yakni berdiri di belakang Republik Indonesia dan menolak pendaratan NICA, maka semangat perjuangan para pemuda tambah berkobar-kobar berhubung raja-raja yang disegani menggabungkan diri dengan gerakan perjuangan kemerdekaan.

Pajonga Daeng Ngalle beserta beberapa karaeng (Karaeng Pangkaje'ne, Karaeng Gattarang, Karaeng Mandalle) juga sebagai delegasi sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia yang diketuai Mr. Tajuddin Noor, Lanto Daeng Pasewang, Ince Muh, Saleh Daeng Tompo sebagai juru bicara, melakukan perundingan dengan Conica yang diwakili oleh Mayor Wegner, membahas mengenai masalah-masalah keamanan dan pemerintahan di Sulawesi.

Di dalam perundingan antara delegasi Pemerintahan Republik Sulawesi. Mayor Wegner mengungkapkan kembali janji-janji Belanda yang dikenal dengan "Nopember Belofte" itu, yakni pemberian kemerdekaan kepada Indonesia dalam ikatan "Gemenbest". Oleh delegasi dengan spontan ditolak, dan gagal perundingan tersebut. Dan pada saat itu juga Pajonga Daeng Ngalle, Karaeng Polombangkeng menyatakan kepada Lanto Dg. Pasewang bahwa satu-satunya jalan harus ditempuh untuk mempertahankan kemerdekaan hanyalah dengan jalan kekerasan dan pada waktu itu juga beliau pamit pada kawan-kawannya. 

Monumen Pajonga Daeng Ngalle terletak dipersimpangan antara jalan Kakatua dan jalan Dr. Ratulangi Kotamadya Ujung Pandang. Monumen dibangun Yayasan DPH Angkatan' 45 untuk melestarikan nilai-nilai luhur pejuang angkatan '45. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.



PAJOANGA DAENG NGALLE: KARAENG POLOMBANGKENG
Penulis: Muhammad Arfah
Penerbit: Pemerintah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Ujung Pandang







June 2, 2022

HAMMANG DM: Pejuang Kemerdekaan Sulawesi Selatan

Selayar memiliki pejuang-pejuang yang turut berjuang membela kemerdekaan, baik pada tingkat nasional, provinsi maupun di daerahnya sendiri. Salah seorang pejuang kemerdekaan yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan di Sulawesi Selatan adalah Hamang, DM, yang namanya telah diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Benteng.

Hamang, DM pernah menduduki puncak kepemimpinan PPNI, LAPRIS ataupun BPPRI, ia lebih banyak berada di balik layar. Di PPNI ia lebih banyak muncul dalam penguatan organisasi dan jaringannya. Di LAPRIS, iapun lebih sering berada di belakang layar, yang kemudian diketahui bahwa hal itu bukan saja karena posisinya sebagai Pimpinan Tertinggi/Kepala Pemerintahan Militer di daerah pendudukan sehingga menjadi target operasi, tapi juga karena tugasnya sebagai penyelidik atau intelijen yang diembannya.

 Dalam bidang intelijen ini, ia bekerja bersama Bonto Dg Mangitung dan Ali Malaka, mencari tahu siapa saja yang mendukung republik dan siapa yang tidak, mulai dari pegawai pemerintah, swasta, polisi bahkan pemilik tokoh/usaha, dan terutama, siapa yang menjadi mata-mata (rechercheur) NICA.

Mereka pula yang menerima setiap pejuang yang masuk kota, termasuk menyiapkan tempat persembunyian ketika mereka terdeteksi oleh mata-mata NICA. Mereka juga mencari dana yang antara lain dengan membuka usaha dan mengumpulkan perbekalan untuk dikirim ke daerah Republik di Polongbangkeng atau kepada para pejuang di berbagai daerah.

Mereka membuat tempat pertemuan rutin di samping rumah orang Belanda yang terletak di perempatan Bessiweg dan Klapperlaan. Di sanalah para pemuda dan penyelidik yang tersebar di banyak instansi untuk saling memberi informasi.

Bonto Dg Mangitung dan Ali Malaka yang mengumpulkan semua itu di dalam kota kemudian mengirimnya melalui kurir, atau ketika ada petinggi LAPRIS yang melakukan penyusupan ke dalam kota. Ali Malaka bahkan sempat tertangkap pada 19 Desember 1948 di kampung Balimbing dan seluruh dokumen termasuk uang perjuangan sebesar Rp. 1000 disita.

Tugas-tugas Hamang DM sebagai orang yang lebih banyak berada di belakang layar ditambah karakternya yang pendiam, tenang dan tidak senang menonjolkan diri, membuat namanya tidak banyak muncul dalam catatan sejarah perjuangan.

Dalam diam itulah sepak terjang Hammang DM dalam mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia justru lebih mengharu biru.

Ketika teman-teman perjuangan - baik yang gugur maupun yang tidak, ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional, ia tetap diam. Ia tidak berteriak bahwa ia ada di sana bersama Emmy Saelan, Wolter Monginsidi, Makkaraeng Daeng Mandjarungi, Padjonga Daeng Ngalle atau Ranggong Daeng Romo.

Buku HAMMANG DM: Pejuang Kemerdekaan Sulawesi Selatan merupakan salah satu koleksi layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, yang membahas sosok pejuang kemerdekaan yang tidak tertulis dalam buku sejarah. Informasi tentang beliau diperoleh melalui catatan pribadi yang dibuat oleh istrinya Hj. Sitti Nuriah dan melalui side souce (sumber samping) yaitu orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya seperti H. Hayyung, Manai Sophian, Sofyan Soenari, Emmy Saelan, Wolter Monginsidi, Makkaraeng Daeng Mandjarungi, Padjonga Daeng Ngalle, Ranggong Daeng Romo, dst.

Penelusuranpun dilakukan melalui organisasi yang pernah diikuti atau bersinggungan dengannya seperti Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI), Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), Biro Pejuang Pengikut Republik Indonesia (BPPRI), Muhammadiyah, Harimau Indonesia (HI), Angkatan Muda Republik Indonesia Selayar (AMRIS) dan lain-lain.


HAMMANG DM: Pejuang Kemerdekaan Sulawesi Selatan 
Penulis: Muhammad Ihsan Maro, Rakhmat Zaenal
Penerbit: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kepulauan Selayar bekerjasama dengan LSM ISET Selayar
Tempat Terbit: Selayar
Tahun Terbit: 2014


OKTOBER 1997 - Pada Hari Pole Juwai dalam Harian Fajar

 

Antara Makassar dan Ujungpandang hingga Keseragaman

Dimuat dalam harian Fajar yang terbit pada kamis (Pole Juwai) 2 Oktober1997, sebuah artikel di pojok kiri atas yang ditulis oleh budayawan H.D Mangemba berjudul “ “Makassar” Sebagai Suatu Nama”. Sebelum penggunaan nama Ujungpandang, nama kota utama di Indonesia Timur yaitu Makassar akan tetapi pada September 1971, sebab alasan politik seperti Makassar adalah nama suku bangsa padahal suku yang ada di kota Makassar pada saat itu beragam, bukan hanya etnik Makassar.

Cikal bakal nama Makassar sendiri berawal dari pembentukan dewan Gemeentee oleh pemerintah Hindia Belanda di Kampung Baru. Kampung Baru terletak di Pantai Losari dan Benteng Fort Rotterdam pada 1 April 1906 yang kemudian berkembang menjadi kota Makassar dan tanggal tersebut disebut sebagai hari budaya Makassar yang sebelumnya merupakan hari jadi kota madya Ujungpandang. Jadi sudah sewajarnya jika kata Makassar telah populer pada saat itu.

Berdasarkan artikel di atas, kata “Makassar” bukan hanya populer di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Kita bisa menemukan banyak hal yang memiliki nama dan kata Makassar di dalamnya pada beberapa titik di globe ini. fakta yang telah disebutkan pada arikel menjadi penambah bukti penting bahwasanya kata Makassar telah ada bahkan sebelum pembangunan candi Borobodur (abad ke-9).

Pada 13 Oktober 1999, nama Makassar kembali dan menggantikan Ujungpandang tanpa proses yang berbelit, karena masyarakat sendiri yang meminta agar nama Ujungpandang diganti pada masa reformasi di penghujung jabatan pemerintahan B.J Habibie.

Pecahnya Kerusuhan Rasial 

         Pada 15 September 1997 terjadi kerusuhan disertai penjarahan selama 2 hari dan tragedi tersebut memakan korban dan kerugian hingga milyaran rupiah, padahal saat itu Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi.  Pemicu kericuhan ini disebabkan oleh kematian seorang anak berusia 9 tahun karena dibacok oleh seorang pria dewasa beretnis Tionghoa yang ternyata mengidap gangguan jiwa.

           Kasus tersebut menyulut emosi massa dan menghakimi pelaku hingga pelaku juga tewas. Tidak sampai disitu, massa juga bergerak melempari dan membakar toko-toko etnis Tionghoa sehingga memakan korban 3 orang.

        Artikel “Bercanda Pergi dan Tak Kembali Lagi” di halaman 13 menceritakan apa yang terjadi pada A Gung (nama disamarkan) dan teman-temannya pada hari kerusuhan terjadi. Mereka semua beretnis Tionghoa, meskipun keluarga A Gung campuran dari berbagai etnis dan agama, A Gung, teman-teman dan keluarganya tetap menjadi amukan massa meskipun mereka tidak bersalah sama sekali.

        Makassar berubah nama manjadi Ujungpandang karena keseragaman etnis yang ada pada saat itu, bukankah itu berarti  bahwa segala bentuk keseragaman serta perbedaan dihargai dan setara kapanpun dan dimanapun. Tapi ternyata rasisme masih ternaman di jiwa beberapa oknum hingga melukai dan meninggalkan trauma yang mendalam kepada para minoritas yang tidak bersalah saat itu, kemungkinan trauma itu masih mereka rasakan hingga kini. 

Koleksi Layanan Surat Kabar
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan
Jl. Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar




KEBUDAYAAN BUGIS - MAKASSAR DALAM PERSPEKTIF SEJARAH NUSANTARA

To Manurung dikaitkan dengan mitologi I Lagaligo atau Sawerigading. Istilah ini adalah nama yang digunakan, untuk pertama kalinya pada I Lagaligo. Sedangkan I Lagaligo dapat dipahami sebagai gejala kebudayaan Nusantara, terutama Jawa.

Buku KEBUDAYAAN BUGIS - MAKASSAR DALAM PERSPEKTIF SEJARAH NUSANTARA merupakan hasil kumpulan artikel yang pernah dipresentasikan dalam berbagai seminar nasional yang dipadukan dengan berbagai materi pengajaran. Berikut kumpulan artikel tersebut:

  1. Awal mula Kebudayaan Maritim Sulawesi Selatan
  2. Dari Batara Guru hingga To Manurung
  3. Sulawesi Selatan dalam Konteks Nusantara
  4. Klaim Kedaulatan dan Konflik-Konflik antar Kerajaan di Sulawesi Selatan
  5. Konflik antar Kerajaan dan Dampaknya di Sulawesi Selatan
  6. Perempuan dalam Budaya Bugis dan Makassar

Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar, yang mencoba  memahami masa lalu Sulawesi Selatan bukan sebagai entitas sejarah budaya yang tertutup sebaliknya sebagai bagian dari Nusantara. Dalam perspektif ini sejarah Sulawesi Selatan ditempatkan sebagai bagian integral dari sejarah nasional.

Fokus pembahasan buku ini menjelaskan perkembangan umum di Makassar dan daerah sekitarnya (Sulawesi Selatan pada umumnya) pada abad 15 sampai abad 18, dari dimensi sosial dan kebudayaan dalam konteks multikulturalis, dengan melacak persamaan budaya berbagai etnis di Nusantara khususnya khususnya historiografi historiografi (historiografi tradisional). 

Karya historiografi diharapkan akan turut memperkaya pemahaman tentang Makassar, sejak awal perkembangan, jaman kebesarannya dan masa surutnya, yang meliputi abad 14 sampai abad 19. Meskipun multikultur, Makassar bahkan Sulawesi Selatan adalah khas dengan corak tersendiri. Pembahasan tentang perempuan juga dihadirkan dalam buku ini terutama karena kedudukan dan peranannya yang khas Sulawesi Selatan itu, yang berbeda dengan daerah lain. Memahami kebudayaan Sulawesi Selatan tidak lengkap tanpa memahami perempuannya.


KEBUDAYAAN BUGIS - MAKASSAR DALAM PERSPEKTIF SEJARAH NUSANTARA
Penulis: Bambang Sulistyo
Editor: Yusring Sanusi
Penerbit: Pusat Kajian Media dan Sumber Belajar LKPP Universitas Hasanuddin
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2017
ISBN: 978-602-61186-5-3