La Galigo biasa juga disebut Sureq Selleyang/Sureq Sennorang artinya kitab suci yang dinyanyikan karena memang La Galigo ditulis bukan untuk dibaca di dalam hati tapi untuk didendangkan di muka publik.
Meong Mpalo Bolongnge (MPB) dapat dilihat dalam 2 perspektif. Dari segi isinya masuk dalam salah satu episode sureq La Galigo, karena bercerita tentang tokoh-tokoh dalam La Galigo. Dari segi genre kesusastraan Bugis masuk kategori Toloq karena terdiri dari 8 suku kata seperti yang terdapat pada Toloq, sementara umumnya sureq galigo terdiri dari 5 suku kata .
Meong Mpalo Bolongnge menceritakan tentang petualangan Sangiang Serriq (Dewi Padi) bersama kucing dan pengawal-pengawalnya. MPB sebagai pegawal Sangiang Serriq disiksa oleh manusia, akibatnya tidak ada lagi yang menjaga dan mengawal Sangiang Serriq. Begitu pula perlakuan manusia terdapat Sangiang Serriq tidak dihargai oleh orang-orang Luwuq, ia tidak ditempatkan pada singgasananya (langkayan), penduduk tidak lagi mematuhi petuah pantangan dan larang-laranganny, dimakan tikus pada malam hari ditotok ayam pada siang hari, maka Sangiang Serriq sepakat dengan MPB dan pengawal-pengawalnya untuk pergi mengembara.
Mula-mula Sangiang Serriq dan rombongan tiba di Enrekang, lalu terdapar di Maiwa, kemudian berturut-turut ke Soppeng, Langkemme, terus ke Kessi, Watu, Lisu, sampai akhirnya tiba di Barru.
Perjalanan dari Enrekang sampai ke Lisu, penuh dengan berbagai derita dan tantangan, sikap dan perlakuan orang-orang yang tidak senonoh, kucing (MPB) disiksanya habis-habisan, ia dan rombongan tidak ditempatkan di langkayan. MPB bersama rombongan pun kelaparan, kehausan, belum lagi kepanasan yang menimpanya pada siang hari dan kedinginan pada malam hari. Tapi ketika tiba di Barru, ia menemukan sesuatu yang lain dari tempat-tempat yang telah dilaluinya. Sangiang Serriq dan rombongan disambut dengan penuh kehangatan, dijamu, diistirahatkan di langkayan, ditambah sikap keramah-tamahan penduduk, keadilan dan kebijaksanaan penguasa, membuat Sangiang Serriq dan rombongan betah.
Sayang sekali Sangiang Serriq sudah terlalu letih, lelah dan sedih mengingat suka duka perjalanannya, dan sifat-sifat anak manusia yang ditemuinya, sehingga ia bertekad untuk meninggalkan bumi, untuk kemudian kembali ke langit menemui kakeknya yang bertahta di Boting Langiq (kerajaan langit).
Tetapi sesampainya di langit, Sangiang Serriq beserta rombongan tidak diperkenankan oleh kakeknya untuk menetap di langit, sebab nasib dan kejadiannya telah ditakdirkan oleh Dewa untuk memberi kehidupan kepada orang-orang bumi. Akhirnya mereka terpaksa kembali ke bumi dan mereka sepakat memilih Barru sebagai tempat menetapnya.
Tujuh hari tujuh malam sesudah Sangiang Serriq tiba di Baru barulah ia memberikan petunjuk-petunjuk, petuah-petuah, nasehat-nasehat serta padangan-pandangan, khususnya yang berhubungan dengan pertanian dan norma-norma masyarakat Bugis, norma-norma itu menyangkut lapangan hidup pertanian, sikap-sikap yang patut dimiliki oleh manusia, sebagai pribadi dan anggota kelompok masyarakat dan menjaga hubungan dengan lingkungan, denganm dewa, dengan manusia, maupun dengan alam sekitar, agar masyarakat tetap makmur, tenteram dan sejahtera. Hal ini dimungkinkan karene Sangiang Serriq akan menetap di Barru, dan itu pertanda sebagai kemakmuran dan kesejahteraan.
Buku KEARIFAN LINGKUNGAN HIDUP MANUSIA BUGIS: BERDASARKAN MEONG MPALOE merupakan cerita Datu Sangiang Serriq yang didampingi oleh MPB merupakan pappaseng yang sarat dengan petuah dan pepatah dalam berkehidupan dan berpenghidupan di alam raya ini, khususnya di wilayah Ajatappareng. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.
BERDASARKAN MEONG MPALOE
Penulis: Nurhayati Rahman
Pemeriksa Naskah: Marjan Mariani
Penerbit: La GAligo Press
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2009
ISBN: 978-979-9915-3-7