March 31, 2021

KEARIFAN LINGKUNGAN HIDUP MANUSIA BUGIS: BERDASARKAN MEONG MPALOE

La Galigo biasa juga disebut Sureq Selleyang/Sureq Sennorang artinya kitab suci yang dinyanyikan karena memang La Galigo ditulis bukan untuk dibaca di dalam hati tapi untuk didendangkan di muka publik.

Meong Mpalo Bolongnge (MPB) dapat dilihat dalam 2 perspektif. Dari segi isinya masuk dalam salah satu episode sureq La Galigo, karena bercerita tentang tokoh-tokoh dalam La Galigo. Dari segi genre kesusastraan Bugis masuk kategori Toloq karena terdiri dari 8 suku kata seperti yang terdapat pada Toloq, sementara umumnya sureq galigo terdiri dari 5 suku kata .

Meong Mpalo Bolongnge menceritakan tentang petualangan Sangiang Serriq (Dewi Padi) bersama kucing dan pengawal-pengawalnya. MPB sebagai pegawal Sangiang Serriq disiksa oleh manusia, akibatnya tidak ada lagi yang menjaga dan mengawal Sangiang Serriq. Begitu pula perlakuan manusia terdapat Sangiang Serriq tidak dihargai oleh orang-orang Luwuq, ia tidak ditempatkan pada singgasananya (langkayan), penduduk tidak lagi mematuhi petuah pantangan dan larang-laranganny, dimakan tikus pada malam hari ditotok ayam pada siang hari, maka Sangiang Serriq sepakat dengan MPB dan pengawal-pengawalnya untuk pergi mengembara.

Mula-mula Sangiang Serriq dan rombongan tiba di Enrekang, lalu terdapar di Maiwa, kemudian berturut-turut ke Soppeng, Langkemme, terus ke Kessi, Watu, Lisu, sampai akhirnya tiba di Barru.

Perjalanan dari Enrekang sampai ke Lisu, penuh dengan berbagai derita dan tantangan, sikap dan perlakuan orang-orang yang tidak senonoh, kucing (MPB) disiksanya habis-habisan, ia dan rombongan tidak ditempatkan di langkayan. MPB bersama rombongan pun kelaparan, kehausan, belum lagi kepanasan yang menimpanya pada siang hari dan kedinginan pada malam hari. Tapi ketika tiba di Barru, ia menemukan sesuatu yang lain dari tempat-tempat yang telah dilaluinya. Sangiang Serriq dan rombongan disambut dengan penuh kehangatan, dijamu, diistirahatkan di langkayan, ditambah sikap keramah-tamahan penduduk, keadilan dan kebijaksanaan penguasa, membuat Sangiang Serriq dan rombongan betah.

Sayang sekali Sangiang Serriq sudah terlalu letih, lelah dan sedih mengingat suka duka perjalanannya, dan sifat-sifat anak manusia yang ditemuinya, sehingga ia bertekad untuk meninggalkan bumi, untuk kemudian kembali ke langit menemui kakeknya yang bertahta di Boting Langiq (kerajaan langit).

Tetapi sesampainya di langit, Sangiang Serriq beserta rombongan tidak diperkenankan oleh kakeknya untuk menetap di langit, sebab nasib dan kejadiannya telah ditakdirkan oleh Dewa untuk memberi kehidupan kepada orang-orang bumi. Akhirnya mereka terpaksa kembali ke bumi dan mereka sepakat memilih Barru sebagai tempat menetapnya.

Tujuh hari tujuh malam sesudah Sangiang Serriq tiba di Baru barulah ia memberikan petunjuk-petunjuk, petuah-petuah, nasehat-nasehat serta padangan-pandangan, khususnya yang berhubungan dengan pertanian dan norma-norma masyarakat Bugis, norma-norma itu menyangkut lapangan hidup pertanian, sikap-sikap yang patut dimiliki oleh manusia, sebagai pribadi dan anggota kelompok masyarakat dan menjaga hubungan dengan lingkungan, denganm dewa, dengan manusia, maupun dengan alam sekitar, agar masyarakat tetap makmur, tenteram dan sejahtera. Hal ini dimungkinkan karene Sangiang Serriq akan menetap di Barru, dan itu pertanda sebagai kemakmuran dan kesejahteraan.

Buku KEARIFAN LINGKUNGAN HIDUP MANUSIA BUGIS: BERDASARKAN MEONG MPALOE merupakan cerita Datu Sangiang Serriq yang didampingi oleh MPB merupakan pappaseng yang sarat dengan petuah dan pepatah dalam berkehidupan dan berpenghidupan di alam raya ini, khususnya di wilayah Ajatappareng. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


KEARIFAN LINGKUNGAN HIDUP MANUSIA BUGIS: 
BERDASARKAN MEONG MPALOE
Penulis: Nurhayati Rahman
Pemeriksa Naskah: Marjan Mariani
Penerbit: La GAligo Press
Tempat Terbit: Makassar
Tahun Terbit: 2009
ISBN: 978-979-9915-3-7

March 30, 2021

ISTILAH TORIOLO

Aksara Bugis hanya memiliki 19 huruf, karena aksara Bugis tidak mempunyai konsonan N atau NG. Membaca warkat atau surat dalam bahasa Bugis, selayaknya paham/mengerti bahasa Bugis atau mengerti maksudnya, sebab tulisan bisa persis sama tapi artinya berbeda.

Walau begitu, mempelajari huruf dan bahasa Bugis tidaklah sulit, yang penting kemauan, lebih-lebih bahasa Bugis banyak mengandung kata-kata mutiara, pepatah, nasehat-nasehat yang berasal dari pendahulu atau nenek moyang yang diistilahkan BOKONG TEMMAWARI (bekal tak basi) disingkat BT yang bersumber dari bahasa sehari-hari tapi jarang digunakan atau jarang kedengaran, tetapi berisikan nasehat atau pelajaran yang berguna untuk mengarungi hidup. Seperti Aja mupakasiri tauwe ritengana tau ega e, artinya: jangan mempermalukan orang lain ditengah banyak orang.

Ajak mucaro beangi padammu tau, artinya jangan anggap rendah sesama. Hormatilah setiap orang tanpa memandang pakaiannya atau luarnya. Allah SWT tidak menilai seorang hamba dari luarnya (cantik, buruk, putih, hitam, gemuk, kurus, dsb) melainkan dari bathinnya atau hatinya. Maka itu setiap hati harus baik. 

Buku ISTILAH TORIOLO: Dengan Aksara Bugis membahas 100 istilah-istilah asli seperti Ajak muabbeangngi nenenu, ambokmu, sibawa indokmu; Ajak muassola salaiwi agagae; Ajak muassola solaiwi sungekmu; Ajak mucabbang majjanci; Ajak mucabbang mattinjak; Ajak mucaro beangi padammu tau; Aja muengkalinga ada saraddasi; Aja mukalinja linja; Aja mukajilijili; Ajak mukakado kado, pikkirikiwi madeceng, dan lain sebagainya. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin km. 7 Tala'salapang-Makassar.


ISTILAH TORIOLO 
Dengan Aksara Bugis
Penyusun: Muh. Armynal Patiroi
Tempat Terbit: Jambi
Tahun Terbit: 2014

March 29, 2021

MADDEWATA, LALOSU, PAJAGA: Perempuan dan Bissu dalam Lingkaran Pertunjukan Etnis Bugis

 


Maddewata berasal dari bahasa Bugus, “ma” artinya melakukan, “Dewata” dari dua kata “de” (tidak ada/tidak tampak) “watang” (fisik/tubuh/bentuk), yang bermakna sesuatu yang tidak tampak fisiknya/bentuknya/tubuhnya, dengan kata lain adalah Tuhan. Maddewata merupakan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Bugis Kuno untuk memohon berkah, restu, keberhasilan dan keselamatan dari Yang Maha Kuasa/Dewata atas segala hajat yang dilakukan oleh manusia.

Maddewata (Sere Maddewata) kemudian lebih dikenal dalam masyarakat etnis Bugis, khususnya di wilayah Pammana sebagai Sere Bissu, karena keseluruhan rangkaian dari upacara Maddewata tersebut dipimpin dan diperankan oleh Bissu, yakni dimulai dari proses mattangnga esso (penentuan hari/persiapan hajatan) sampai dengan setelah berahirnya hajatan.

Bissu merupakan sebuah komunitas tradisional yang diyakini oleh masyarakat Bugis Wajo sebagai manusia suci, mempunyai kesaktian, tabib/dukun, penasehat dalam kerajaan sekaligus perantara dan penyampai kehendak antara makhluk di bumi (Alekawa/Butting lino) dengan makhluk di khayangan (Butting langi/buri’ langi’/dunia atas’) dan makhluk yang mendiami dasar laut (Butting ri Liu/Buri’ liu/dunia bawah) karena Bissu menguasai torilangi’, sekaligus penyambung lidah antara rakyat dengan Datu (Raja) yang memerintah dalam masyarakat Bugis Wajo.

Masyarakat Bugis Kuno meyakini, bahwa kehadiran Bissu di Bumi sebagai penyempurna dan penyeimbang dari kehadiran leluhur orang Bugis dibumi yakni Batara Guru (penghuni Buri langi’/kerajaan langit) yang kemudian mempersunting We Nyili Timo (penghuni dari Buri’ Liu/kerajaan dasar laut), sebagai penasehat dan pendidik putra-putri raja, sebagai pendeta kuno yang ditempati meminta nasehat tentang hari baik pelaksanaan hajatan, sebagai peramal baik-buruknya pertanian yang dilakukan oleh warga, menentukan hari baik membangun dan memidahkan rumah, dan segala seluk beluk aktifitas ritual keseharian masyarakat Bugis kuno.

Tugas dan tanggungjawab sebagai seorang Bissu sangatlah berat sebagimana syarat-syarat menjadi Bissupun melalui tahap yang sangat rumit, yakni harus suci dari hal-hal yang sifatnya duniawi, terutama harus menjaga syahwat baik terhadap perempuan maupun laki-laki dengan tidak melakukan hubungan intim layaknya suami-istri, harus berpola laku dan bertutur kata malebbi (mulia), tidak boleh cakkidi-kidi (genis dan menggoda), harus melempu/mabberekkada tongeng (jujur), memiliki sifat mappakatau (menghargai sesama manusia) nakututui alena (menjaga harkat dan martabat sebagai seorang Bissu), dan mampu memberi makan bagi orang banyak (bersedekah makanan baik kepada orang kesusahan maupun tidak sebagai tanda alabongeng ati/sifat dermawan), yang intinya Bissu senantiasa harus menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan manusia, alam dan makhluk lainnya.

Bissu yang kebanyakan berprofesi sebagai Indo Botting/inang pengantin (tukang make up pengantin sekaligus tukang masak dan tukang pasang tenda, pelaminan dan semua persiapan dan perlengkapan pengantin), hampir tiap saat terutama pada musim pengantin di desa Kampiri, Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo.

Buku MADDEWATA, LALOSU, PAJAGA: Perempuan dan Bissu dalam Lingkaran Pertunjukan Etnis Bugis membahas tentang Maddewata (Sere Bissu), Lalosu Makkunrai Wajo, Pajaga Makkunrai serta Perempuan dan Bissu dalam Lingkaran Seni Pertunjukan Etnis Bugis. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala’salapang, Makassar.


MADDEWATA, LALOSU, PAJAGA: Perempuan dan Bissu dalam Lingkaran Pertunjukan Etnis Bugis
Penulis: Nurwahidah
Penerbit: Pusaka Almaida
Tempat Terbit: Gowa
Tahun Terbit: 2018
ISBN: 978-602-5954-93-1

March 19, 2021

LONTARAK TELLUMPOCCOE

Naskah kuno lontarak Tellumpoccoe memuat informasi kesejarahan yang bersangkut paut dengan perkembangan pemerintahan dalam berbagai kerajaan lokal, mulai zaman kedatangan to-manurung lokal sekitar tahun 1326 sampai jatuhnya Kerajaan Gowa oleh kekuatan Kompeni Belanda pada tahun 1667.

Dalam lontarak tersebut tercatat beberapa kerajaan lokal yang terhitung cukup besar pengaruhnya di kawasan jazirah Sulawesi Selatan pada masa itu, antara lain Kerajaan Bone, Wajo, Soppeng, Luwu dan Kerajaan Gowa. Masing-masing kerjaan saling berhubungan antara satu sama lain, baik dalam bentuk hubungan damai maupun peperangan.

Dalam lontarak (transliterasi dan terjemahan No. 03 sd N0. 25) termuat keterangan bahwa sejak berakhirnya masa pemerintahan raja-raja yang tercatat namanya dalam epos Galigo maka di kawasan Tanah Bone dan sekitarnya tidak ada lagi kedamaian. Tidak ada bentuk pemerintahan apa pun. Tidak ada ketertiban. Tidak ada hukum. Tidak ada keadilan dan peradilan.

Kalau ada hukum, maka satu-satunya hukum yang berlaku ketika itu hanya "hukum rimba", hukum kekerasan yang halalkan semua cara untuk mencapai tujuan tertentu. Keadaan ini tercermin secara nyata dalam lontarak (transliterasi/terjemahan No. 03 s/d 04).

Pemberitaan lontarak menunjukkan secara nyata, bahwa sejak berakhirnya masa pemerintahan raja-raja yang tercatat namanya dalam epos Galigo, maka di kawasan Tanah Bugis dan sekitarnya tidak ada lagi bentuk pemerintahan sama sekali. Selaku konsekuensi logis, masyarakat ketika itu tidak mengenal lagi kata mufakat dan musyawarah. Bahkan, mereka saling memangsa antara sesamanya. Mereka saling mengkhianati. Tidak lagi aturan dan peraturan, apalagi yang dinamakan keadilan dan peradilan. Jelas mereka hidup dalam masa kekacau-balauan di situ manusia saling memangsa bagaikan ikan. Keadaan seperti ini berlanjut selama tujuh angkatan, tujuh generasi yang dalam istilah lontarak disebut pitutureng (tujuh musim).

Setelah berlalu tujuh musim, keadaan yang serba kacau balau tersebut mengalami perubahan dengan datangnya tokoh to manurung yang kemudian disepakati oleh penduduk untuk dinobatkan menjadi pimpinan, sekaligus raja berdaulat di kawasan Tanah Bone. Dalam pengistilahan bahasa daerah Bugis to manurung merupakan kata jadian, berasal dari kata kerja; dan "turung" artinya turun. To-ma-nurung berarti orang yang turun (dari kahyangan: langit).

Pemahaman anggota masyarakat tentang to manurung merupakan cerita khayalan yang beralih secara turun-temurun dari satu generasi ke lain generasi. Kendati pun demikian terbentuknya pemerintahan kerajaan lokal di daerah Sulawesi Selatan tidak dapat dipisahkan dari kehadiran to manurung sebagai tokoh pemimpin yang kemudian menjadi raja dengan kekuasaan penuh di wilayah pemerintahannya.

Gambaran tentang tokoh pemimpin yang disebut to manurung tercermin pula dalam lontarak Tellupoccoe yang menyatakan negeri Bone ketika itu sedang bertikai untuk memperoleh pengaruh, sekiligus pendukung dan pengikut. Dalam keadaan seperti itu, muncul tokoh pemimpin yang disebut Mata Silompok e Manurungnge ri Matajang. Tokoh ini disebut Manurungnge ri Matajang, karena muncul pertama kalinya di suatu tempat yang bernama Matajang (negeri Bone). 

Kedatangan sang to manurung (Mata Silompok e) ketika itu telah menimbulkan harapan baru bagi anggota masyarakat setempat, sehingga mereka sepakat mengangkat dan menobatkannya menjadi raja.

Dalam sejarah pemerintahan Kerajaan Bone dikenal adanya 34 raja dan 2 (dua) jennang yang pernah memegang tampuk pemerintahan, namun dalam lontarak Tellupoccoe hanya terdapat 15 raja dan 2 jennang. Jennang adalalah perwakilan raja Gowa yang ditempatkan di daerah Bone. Silsilah raja dan jennang tersebut:

  1. Manurungnge ri Matajang (Raja Bone - I)
  2. La Ummassa (Raja Bone - II)
  3. La Saliwu Kerampeluwak (Raja Bone - III)
  4. We Benrigau Makkaleppie (Raja Bone - IV)
  5. La Tenrisukki (Raja Bone - V)
  6. La Wulio Botek e ((Raja Bone - VI)
  7. La Tenrirawe Bongkae (Raja Bone - VII)
  8. La Iccak (Raja Bone - VIII)
  9. We Tenrituppu (Raja Bone - IX)
  10. La Tenriruwa Sultan Adam Matiroe ri Bantaeng (Raja Bone - X)
  11. La Tenripale Toakkeppeang (Raja Bone - XI)
  12. La Maddaremmeng Sultan M. Shaleh Matinroe ri Bukaka (Raja Bone - XII)
  13. Tosenrima Matinroe ri Siang (Raja Bone - XIII)
  14. Jenang Toballa dan Jenang Arung Amali
  15. La Tenritata To Unru Arung Palakka Sultan Sa'aduddin To Risompae Metinroe Ri Bontoala
Selain sebagai sumber sejarah berdirinya kerjaan Bone, naskah kuno lontarak memuat informasi yang bertalian dengan pembentukan Trialiansi Tellupoccoe. Trialiansi melibatkan tiga kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng). Gagasan untuk melakukan trialiansi antara ketiga kerajaan itu pertamakali timbul dari pihak Kerajaan Bone. Trialiansi Tellupoccoe adalah suatu perjanjian persahabatan yang disebut Mallamumpatu e ri Timurung (Penanaman batu di Timurng).

Buku  LONTARAK TELLUMPOCCOE membahas tentang terbentuknya Kerajaan Bone, Biografi Raja-Raja Bone, Lahirnya Trialiansi Tellupoccoe serta pecahnya Trialiansi Tellupoccoe. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi jalan Sultan Alauddin Km. 7 Tala'salapang-Makassar.


LONTARAK TELLUMPOCCOE
Penulis: Pananrangi Hamid, Tatiek Kartikasari
Penyunting: S. Sumardi, Sri Mintosih
Penerbit: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
Tempat Terbit: Jakarta
Tahun Terbit: 1992



March 17, 2021

HAJI ANDI SULTAN DAENG RAJA: KARAENG GANTARANG BULUKUMBA


Penentangan kehadiran Belanda di Sulawesi Selatan menimbulkan peristiwa demi peristiwa yang melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang tidak kenal menyerah antara lain, Haji Andi Sultan Daeng Raja. 

Haji Andi Sultan Daeng Raja bukan saja tampil sebagai penentang hadirnya kembali Belanda di Sulawesi Selatan, tapi juga termasuk salah seorang pencetus ikrar yang merupakan perjanjian luhur bangsa Indonesia yaitu proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta bersama-sama dengan utusan bangsa Indonesia diseluruh wilayah Indonesia lainnya.

Bahkan bukan saja beliau memulai perjuangannya pada peristiwa 17 Agustus 1945 tapi jauh sebelumnya beliau (Haji Andi Sultan Daeng Raja) semasa diadakan Kongres Pemuda pertama 28 Oktober beliau turut hadir.

Haji Andi Sultan Daeng Raja dilahirkan pada tahun 1894 di Gantarang Bulukumba dalam kalangan keluarga yang sementara berkuasa masa itu. Masa kecil beliau ditempuh dengan segala suka-dukanya. Beliau dikenal termasuk anak yang patuh pada orang tua, serta mempunyai tabiat yang pendiam. Dikalangan teman-teman seangkatannya beliau dikenal sebagai anak yang keras pendirian serta senang pada pelajaran.

Pendidikan dasarnya dimulai dengan sekolah Bumiputra kelas dua atau sekolah Gubernement kelas dua. Setammat pada sekolah Bumiputra di Bulukumba beliau masuk sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda yang tinggal di Bulukumba yaitu "Eropesche Lagere Scholl type B", yaitu sekolah dimana bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.

Setammat beliau dari E.L.S. di Bulukumba pada tahun 1907 beliau melanjutkan pendidikannya pada OSVIA yaitu sekolah lanjutan tingkat atas jaman penjajahan Belanda yang menerima murid khusus dari anak-anak kalangan bangsawan untuk dipersiapkan menduduki jabatan-jabatan negeri masa itu seperti Ajun Jaksa, lambau (pegawai pertanian) calon pamong praja dan sebagainya.

Sewaktu beliau berhasil menamatkan pendidikannya pada OSVIA di Ujung Pandang tahun 1914 dengan hasil memuaskan, selanjutnya beliau di benum (diangkat) menjadi pegawai di Ujung Pandang. Karier kepegawaian beliau dimasa penjajahan dijadikan sebagai alat penunjang cita-cita perjuangan yang ingin melenyatkan bangsa penjajah.

Beliau pernah ditangkap oleh sekutu (Australia) yang membuktikan dirinya sebagai salah satu tokoh perjuangan Sulawesi yang dianggap mampu menghambat kembalinya penjajahan Belanda di Indonesia sehingga ia disingkirkan dari tengah-tengah masyarakatnya.

Pada tanggal 17 Mei 1963 (hari Jum'at) usia 70 tahun, beliau meninggal dunia di Rumah Sakit Pelamonia, setelah sakit beberapa lama, dan dimakamkan dibelakang Mesjid Raya Ponre, sesuai amanah beliau berdampingan dengan ayahandanya, walupun sebenarnya beliau berhak untuk dimakamkan pada Makam Pahlawan Bulukumba.

Dalam rangka mengabadikan nama beliau sebagai tokoh perjuangan dari Sulawesi Selatan, maka oleh panitia pemberi nama jalan pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bulukumba menetapkan jalan arteri (protokol) yang kebetulan membentang didepan rumah beliau dengan nama jalan Haji Andi Sultan Daeng Raja.

Buku BIOGRAFI PAHLAWAN HAJI ANDI SULTAN DAENG RAJA sebagai pejuang yang menentang Belanda sejak masih menjadi pegawai pemerintah Belanda di jaman kolonial. Buku ini merupakan salah satu koleksi Layanan Deposit Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan jalan Sultan Alauddin KM. 7 Tala'salapang-Makassar.


KARAENG GANTARANG BULUKUMBA
Penulis: M. Basri Padulungi
Penerbit: Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan
Tempat Terbit: Ujung Pandang
Tahun Terbit: 1981